Langsung ke konten utama

PERNIKAHAN DINI DALAM LINGKUP HUKUM NEGARA (STATE LAW) DAN HUKUM ADAT (CUSTOMERY LAW)

A.    Latar belakang 
Indonesia merupakan negara yang memiliki pluralitas hukum yang bisa ditelisik secara gamblang namun samar dalam hal penerapan. Hal ini dikarenakan Indonesia tidak hanya menggunakan otoritas hukum formal negara, tetapi juga menggunakan otoritas hukum yang digunakan dalam konteks dan komunitas tertentu (customery law). Kedua otoritas hukum ini seringkali berseberangan satu sama lain, meskipun dalam beberapa kondisi dapat disinkronkan. Customary law sering dianggap sebagai representasi kearifan lokal yang mencerminkan identitas budaya masyarakat tertentu, sedangkan state law memiliki cakupan yang lebih luas dan bertujuan untuk menciptakan keseragaman hukum dalam suatu negara.
Salah satu masalah yang mencerminkan permasalahan state law dan customery law adalah masalah pernikahan dini yang dilakukan oleh beberapa masyarakat dan komunitas adat. Di dalam masyarakat adat Jawa misalnya sering kali dijumpai perkawinan anak perempuan yang masih muda usianya. Anak perempuan tertentu di daerah Jawa seringkali dikawinkan meskipun umurnya masih kurang dari 15 tahun, meskipun mereka belum diperkenankan untuk hidup bersama sampai batas umur yang pantas. Begitu pula pada beberapa wilayah lainnya yang memperbolehkan adanya pernikahan dini.[1] Padahal dalam undang-undang negara disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah berumur 19 (sembilan belas) tahun.[2] Kedua otoritas ini tentu saling berseberangan satu sama lain sehingga menimbulkan pertanyaan “Kemana semestinya hukum pernikahan mengacu? Hukum negara atau hukum adat? Atau ada jalan tengah di antara keduanya?”
B.    State law dan Customery law dalam satu wilayah
Manusia adalah entitas yang selalu hidup bermasyarakat, sehingga agar kehidupan menusia dalam masyarakat teratur dan tertib maka diperlukan hukum. Manusia, masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Pameo Romawi yang menyatakan ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat di situ ada hukum) mengambarkan hubungan ini dengan tepat sekali.[3] Dari narasi di atas sudah tergambarkan bahwa dalam lingkup masyarakat sudah bisa dipastikan ada pemberlakuan hukum yang berlaku terhadap komunitas tertentu. 
Meskipun dalam suatu lembaga negara terdapat pengaturan pemberlakuan hukum yang berlaku, hukum adat tidak bisa dipungkiri keberadaannya, hal ini pun diakuisisi oleh lembaga negara dengan adanya undang-undang yang berbunyi : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. [4] Adanya customery law yang berupa hukum adat ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah terdapat beberapa peraturan dari lembaga negara yang tidak relevan dengan kehidupan masyarakat, karena hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. 
Pada intinya, hukum adat memiliki kedudukan yang sama seperti halnya hukum-hukum lain yang berlaku. Hal ini dikarenakan UUD 1945 sebagai konstitusi negara mengakui hukum tidak tertulis disamping hukum tertulis. Konsep hukum adat masih dapat digunakan selagi masih menggunakan konsep keadilan, keamanan, dan kenyamanan masyarakat. Meskipun undang-undang lebih mengutamakan hukum state law dibandingkan customery law, tetapi customery law perlu adanya pengakuan dan pemberlakuan sebagaimana mestinya. Peranan hakim pun sebagai penemuan hukum sangat penting untuk memerhatikan kesadaran hukum hukum adat sebagai pertimbangan dalam memutus suatu sengketa. Dengan demikian yurisprudensi merupakan salah satu sumber pengenal hukum yang hidup dalam masyarakat.[5]
C.    Pernikahan Dini Dalam Hukum Negara
Pernikahan di bawah umur atau juga disebut pernikahan dini ini terdiri dari dua kata yaitu pernikahan dan dini. Pernikahan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 pasal 1 adalah  ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga, yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan Dini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya pagi sekali, sebelum waktunya. Berdasarkan definisi tersebut dapat diartikan bahwa pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan ketika seseorang belum mencapai batas usia minimal yang di sebutkan dalam Undang-undang untuk menikah. Pendapat lain menyatakan bahwa pernikahan usia dini adalah pernikahan dibawah umur (usia muda) yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan pernikahan. Pengertian secara umumnya, pernikahan dini yaitu merupakan institusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga. Remaja itu sendiri adalah anak yang ada pada masa peralihan antara masa anak-anak ke dewasa, dimana anak-anak mengalami perubahan-perubahan cepat disegala bidang. 
Jadi perkawinan dibawah umur adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang wanita di mana umur keduanya masih dibawah batas minimum yang diatur oleh Undang-Undang dan kedua calon mempelai tersebut belum siap secara lahir maupun Batin, serta kedua calon mempelai tersebut belum mempunyai mental yang matang dan juga belum siap dalam hal materi. Pernikahan dibawah umur yang belum memenuhi batas usia pernikahan, pada hakikatnya di sebut masih berusia muda atau anak-anak yang ditegaskan dalam Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dikategorikan masih anak-anak, juga termasuk anak yang masih dalam kandungan, apabila melangsungkan pernikahan tegas dikatakan adalah pernikahan dibawah umur.
Persoalan pernikahan dini memang tidak dijelaskan mengenai pernikahan dini akan tetapi pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) pasal 29 menyebutkan bahwa usia minimal laki-laki adalah 18 tahun dan perempuan minimal 15 tahun dapat melaksanakan perkawinan, sedangkan batas kedewasaan seseorang dalam buku KUHPerdata pasal 330 dalam pada saat berusia 21 tahun dan belum pernah melakukan perkawinan. ini juga berlaku untuk batasan umur yang ditetapkan oleh dalam KUHPerdata, karena pada Undang - undang No. 1 tahun 1974 juga mengatur tentang batasan umur perkawinan. Dan usia untuk melakukan pernikahan  menurut undang-undang 16 tahun 2019 pasal 7 ayat 1. Menurut Undang-Undang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No.1/1974 sebagi hukum positif yang berlaku di Indonesia, menetapkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. jadi pernikahan dikatakan sebagai pernikahan dini jika salah satu pasangan pernikahan usianya masih dibawah 19 (sembilan belas) tahun. Tujuan dari pembatasan usia pernikahan ini adalah untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah, bahagian baik di dunia maupun di akhirat kelak yang di ridhoi oleh Allah Swt.
Dengan berdasar aturan pemerintah Indonesia tentang pernikahan maka mempelai harus mendapat persetujuan orang tuanya (UU RI 1974). Merujuk pasal 2 menjelaskan bila terjadi penyimpangan terhadap ayat 1 seseorang bisa meminta dispen kepada pengadilan atau pejabat lain.
 
D.    Pernikahan dini dalam hukum adat
Perkawinan menurut Hukum Adat tidak hanya dianggap sebagai peristiwa yang penting bagi pasangan yang melangsungkannya, tetapi juga memiliki makna yang mendalam bagi arwah para leluhur dari kedua belah pihak. Selain itu, dalam pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat, terdapat berbagai aturan yang harus dipatuhi, seperti pengaturan bentuk perkawinan, prosedur pelamaran, upacara perkawinan, serta cara-cara yang sah dalam mengakhiri perkawinan. Setiap daerah di Indonesia memiliki aturan hukum adat yang berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh perbedaan dalam aspek kemasyarakatan, adat-istiadat, agama, dan kepercayaan masyarakat setempat. Namun, hukum adat tidak mengatur secara pasti mengenai batas umur untuk melangsungkan perkawinan, baik itu minimal maupun maksimal, karena hal tersebut tidak ditentukan secara mutlak dalam aturan adat. Perkawinan dalam hukum adat memiliki dimensi sosial yang lebih luas, di mana keberhasilan suatu pernikahan juga dilihat sebagai hasil dari keterlibatan dan dukungan seluruh keluarga serta kerabat dekat.[6]
Pada rumusan perkawinan menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, yang mengatur batas usia minimal untuk melangsungkan perkawinan. Pasal yang diubah tersebut berbunyi, “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.” Penetapan batas usia minimal ini bertujuan untuk mengharmoniskan antara kebutuhan kodrati manusia dengan pencapaian esensi yang seharusnya ada dalam sebuah perkawinan. Batas usia tersebut diharapkan dapat memastikan bahwa seseorang telah cukup matang secara fisik dan mental untuk menjalani kehidupan perkawinan yang penuh tanggung jawab.
Di beberapa daerah, hukum adat tidak melarang perkawinan yang dilakukan di bawah umur, sementara di daerah lain ada larangan terhadap perkawinan di bawah umur, karena dianggap bahwa pasangan yang belum mencapai usia dewasa belum pantas untuk berumah tangga. Menurut hukum adat, seseorang hanya dapat melangsungkan perkawinan jika sudah dianggap dewasa. Namun, definisi dewasa menurut hukum adat tidak selalu berkaitan dengan usia tertentu, melainkan lebih pada kondisi konkret individu tersebut, seperti kemampuan untuk hidup mandiri, memiliki pekerjaan, dan tidak bergantung pada orang tua. 
 
E.    Realita hukum pernikahan dini dalam masyarakat
Pernikahan di indonesia merupakan sudah menjadi fenomenal sosial yang sering kali dipengaruhi oleh berbagai faktor budaya, ekonomi, dan pendidikan. Bisa di lihat dari data menunjukan bahwa pernikahan dini dibawah umur masih sering terjadi, dengan sekitar 34,5% anak memilih untuk menikah dini, dan indonesia menempati peringkat keduan di ASEAN.[7]
Salah satu persoalan perkauwinan yang diatur oleh negara adalah batasan usia. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Perkawinan (UU 16/2019). Pemerintah mengatur perkawinan bahwa yang diizinkan hanya pihak laki dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.[8] 
Untuk kasus pernikahan usia dini, yaitu dari calon suami atau istri yang masih  di bawah 19 tahun, pada dasarnya tidak dibolehkan oleh undang-undang. Selain itu, bila calon mempelai belum mencapai usia 21 tahun, ia harus mendapatkan izin kedua orang tua agar dapat melangsungkan pernikahan (Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan). Meski pernikanan dini tidak dibolehkan, tapi berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2019 masih dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap ketentuan umur 19 tahun tersebut, yaitu dengan cara orang tua pihak pria atau wanita meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
Permohonan meminta dispesansi yang diajukan ke Pengadilan Agama apabila muslim, dan ke Pengadilan Negeri apabila menganut Agama non muslim. Jika Pengadilan memberikan dipesansi. Artinya pernikahan dini masih dimungkin sah secara peraturan diatas. Tetapi perkawinan ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Di dalam Pasal ayat (2) UU Perkawinan yang baru menegaskan bahwa dispensasi perkawinan dapat diberikan atas alasan mendesak. Maksud dari “alasan mendesak” yaitu keadaan yang tidak ada pilihan lain dan dengan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan. Alasan mendesak itu tak bisa sekedar klaim, harus ada bukti-bukti pendukung yang cukup.
Menurut Undang-Undang Perkawinan yang baru menjelaskan bukti-bukti pendukung yang cukup adalah surat keterangan yang membuktikan bahwa usia mempelai masih di bawah ketentuan undang-undang dan surat keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat 
Oleh karena itu pernikahan di bawah umur masih bisa dilaksanakan, akan tetapi syarat dan ketentuan dalam undang-undang perkawinan berlaku. Syarat dan ketentuan tersebut yaitu, orang tua telah memberikan izin untuk melaksanakan perkawinan di bawah umur, sebab jika calon pengantin masih di baah umur harus mendapatkan iin terlebih dahulu dari orang tuanya, kemudian orang tua meminta surat dispensasi nikah, serta dengan membawa bukti-bukti pendukung dan alasan mengapa meminta surat dispensasi tersebut, sehingga hakim dapat mempertimbangkan alasan tersebut. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir terjadinya perkawinan di bawah umur.
F.     Kesimpulan
Dilema antara hukum negara (state law) dan hukum adat (customary law) di Indonesia terkait isu pernikahan dini memang rentan untuk dibahas. Dalam konteks hukum negara, pernikahan hanya diizinkan jika pasangan telah mencapai usia 19 tahun, sedangkan dalam beberapa komunitas adat, pernikahan dini sering kali diterima dan bahkan dianggap sebagai tradisi. Konflik antara kedua jenis hukum ini mencerminkan pluralitas hukum di Indonesia, di mana hukum adat diakui keberadaannya tetapi sering kali bertentangan dengan hukum negara. Dengan adanya ketimpangan ini, perlu adanya penyorotan terkait pentingnya pendekatan yang seimbang antara kedua jenis hukum, mengingat hukum adat merepresentasikan kearifan lokal, sedangkan hukum negara bertujuan menciptakan keseragaman. Dalam praktiknya, pengakuan terhadap hukum adat tetap harus didasarkan pada prinsip keadilan, keamanan, dan kenyamanan masyarakat. Oleh karena itu, pengadilan dan para hakim memiliki peran penting untuk mempertimbangkan hukum adat dalam memutuskan sengketa, dengan tetap mengacu pada prinsip hukum negara.
Meskipun hukum negara memiliki cakupan luas untuk menciptakan keseragaman, hukum adat tetap diakui keberadaannya sebagai bagian dari kearifan lokal yang mencerminkan identitas budaya masyarakat. Paper ini menekankan perlunya pendekatan yang inklusif, di mana hukum adat dapat tetap dihormati selama tidak bertentangan dengan prinsip keadilan dan kepentingan umum. Selain itu, peran hakim menjadi krusial dalam menjembatani konflik antara kedua sistem hukum ini, dengan mempertimbangkan hukum adat dalam konteks keadilan yang hidup di masyarakat. Dengan kata lain, pernikahan dini memiliki dua sudut pandang yang berbeda dalam konteks hukum yaitu dalam konteks hukum negara yang melarang serta hukum adat yang justru melestarikan. Pernikahan dini yang dilakukan oleh masyarakat adat dihormati keberadaannya oleh aparatur hukum negara.
Refensi
[1] Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana, 2004), 70.
[2] Christine S.T. Kansil, Suplemen Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), 64
[3] Mahdi Syahbandir, Kedudukan Hukum Adat dalam Sistem Hukum, Jurnal Kanun vol. 50 (2010), 5.
[4] Undang-undang Republik Indonesia Pasal 18b ayat (2).
[5] Syahbandir, Kedudukan Hukum Adat dalam Sistem Hukum, 12.
[6] Soeryono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta :UI Press, 2007), 5.  
[7] https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/realita-dan-dilema-perkawinan-anak-di-bawah-umur-oleh-indarka-putra-pratama-s-h-27-6. Di akses pada 4/1/2025. Pukul 20.41 WIB.
[8] https://www.hukumonline.com/berita/a/begini-hukumnya-menikah-di-usia-dini-lt634dcfb5efc54/ Di akses pada 4/1/2025. Pukul 21.00 WIB.
[9] Muhammad, Yasin.(2019). Dispensasi Perkawinan Tetap Dimungkinkan, Begini Syaratnya Menurut UU Perkawinan yang Baru. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5db127b0b52f3/dispensPERNIKAHAN DINI DALAM LINGKUP HUKUM NEGARA (STATE LAW) DAN HUKUM ADAT (CUSTOMERY LAW)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biografi dan karekteristik Imam Hambali

  Biografi Imam Hambali Dan Pendidikannya   Imam Ahmad lahir pada bulan Rabi'ul Awal tahun 164 H (780 M) di Marw, yang kini merupakan bagian dari Turkmenistan. Ia dibesarkan di Baghdad, pusat ilmu pengetahuan pada masa itu, di tengah keluarga terhormat dari keturunan Nabi Muhammad SAW. Ayahnya meninggal sebelum ia lahir, sehingga ia dibesarkan oleh ibunya dalam keadaan sederhana. Ketika beliau umur antara 16 tahun. Dikatan bahwa beliau sudah menjadi ulama hadis yang besar tapda tahun 179 H. Beliau sudah hafal hampir satu juta hadis, oleh karena itu mendasarkan pendapat hukumnya atas hadis semata,dan beliau seorang ulama termuka pada masanya dan sampai akhir zaman.  Selama perjalanannya, dia bertemu dengan 'Abd ar-Razzaq bin Humam, 'Ali bin Mujahid, Jarir bin 'Abdal-Hamid, Sufyan bin 'Uyainah, Imam Syafi'i, dan beberapa ulama lainnya di berbagai pusat ilmu Islam, seperti Basrah, Hijaz, Yaman, Mekah, dan Kufah. Imam Hambali dikenal karena karya terkenalnya Al-Musn...

Makalah perkembangan imam imam madzab pada masa dinasti umayyah

   A.      Pendahuluan Daulah Umayyah berasal dari Umayyah ibn ‘Abdi Syams ibn ‘Abdi Manaf, merupakan salah satu pemimpin kabilah Quraisy di zaman jahiliyah. Umayyah sering bersaing dengan pamannya yang bernama  Hasyim ibn ‘Abdi Manaf  untuk merebut pimpinan dan kehormatan dalam masyarakat bangsanya. [1]  Pada saat memasuki masa kekuasaannya, Muawiyah yang menjadi awal penguasa bani Umayyah, mengubah pemerintahan yang bersifat demokratis menjadi kerajaan turun-temurun (monarchiheridetis). [2] Kedaulatan bani Umayyah dimulai sejak masa kekuasaan Gubernur Syam yang pada waktu itu tampil sebagai penguasa Islam yang kuat pasca wafat Ali ibn Abi Thalib. Mʰawiyah ibn Abi Sufyan ibn Harb adalah pendiri dinasti Umayyah dan sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus. [3] Pada saat itu kekuasaan tersebut, banyak sekali perkembangan-perkembangan diantaranya dalam hokum Islam sehingga munculah ulama...

Hukum Progresif dalam Kasus Nenek Minah: Ketika Keadilan Tak Cukup Hanya dengan Aturan

  Sistem hukum yang ideal seharusnya mampu melayani rasa keadilan masyarakat. Namun, kenyataan di lapangan sering menunjukkan bahwa hukum justru terasa jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, terutama bagi masyarakat kecil. Dalam konteks ini, pendekatan hukum progresif hadir sebagai solusi yang mengutamakan keadilan substantif, bukan sekadar kepatuhan terhadap teks undang-undang. Salah satu kasus paling terkenal yang merefleksikan pentingnya pendekatan ini adalah kasus Nenek Minah pada tahun 2009. Kronologi Kasus Minah, seorang nenek berusia 55 tahun dari Banyumas, Jawa Tengah, diadili karena mencuri tiga buah kakao dari lahan milik PT Rumpun Sari Antan. Ia mengambil kakao tersebut untuk dikonsumsi sendiri. Meski jumlah dan nilainya sangat kecil, Minah tetap diproses secara hukum berdasarkan Pasal 362 KUHP tentang pencurian  yang berbunyi "Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, di...