A. Pendahuluan
Daulah Umayyah berasal dari Umayyah ibn ‘Abdi Syams ibn ‘Abdi Manaf, merupakan salah satu pemimpin kabilah Quraisy di zaman jahiliyah. Umayyah sering bersaing dengan pamannya yang bernama Hasyim ibn ‘Abdi Manaf untuk merebut pimpinan dan kehormatan dalam masyarakat bangsanya.[1] Pada saat memasuki masa kekuasaannya, Muawiyah yang menjadi awal penguasa bani Umayyah, mengubah pemerintahan yang bersifat demokratis menjadi kerajaan turun-temurun (monarchiheridetis).[2]
Kedaulatan bani Umayyah dimulai sejak masa kekuasaan Gubernur Syam yang pada waktu itu tampil sebagai penguasa Islam yang kuat pasca wafat Ali ibn Abi Thalib. Mưawiyah ibn Abi Sufyan ibn Harb adalah pendiri dinasti Umayyah dan sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus.[3]
Pada saat itu kekuasaan tersebut, banyak sekali perkembangan-perkembangan diantaranya dalam hokum Islam sehingga munculah ulama’-ulama’ Madzhab yang Kembangan sampai sekarang ini yang digunakan sebagai rujukan hukum.
A. Munculnya Madzhab Awal Di Kufah
Kufah (الكوفة (merupakan sebuah kota di Iraq. Terletak 10 km di timur laut Najaf dan 170 km di selatan Bagdad.17 Sekitar 100 tahun, mazhab nahwu Kufah baru muncul.[1] Hal ini ulama’ kufah lebih fokus pada ilmu keislaman.seperti fikih, hadis, qira'at dibanding ulama Basrah yang serius mendalami ilmu nahwu.
Kufah, sebuah kota di Irak yang didirikan oleh Khalifah Umar bin Khattab, menjadi pusat intelektual penting dan perkembangan hukum Islam. Perkembangan ini sangat dipengaruhi oleh kedatangan sahabat Nabi Abdullah bin Mas'ud, yang dikirim oleh Khalifah Umar untuk mengajarkan Islam kepada penduduk Kufah. Karakteristik hukum di Kufah, yang kemudian dikenal sebagai "Madrasah Ra'yu", atau mazhab yang menggunakan akal dalam merumuskan hukum, sangat dipengaruhi oleh kehadiran bin Mas'ud.[2]
Ulama terkenal seperti Ibrahim al-Nakha'i melanjutkan pengaruh ini setelah masa bin Mas'ud. Dia dianggap sebagai pendiri pertama mazhab di Kufah, yang menggunakan metode ra'yu (akal) dan qiyas (analogi), yang mengutamakan ijtihad berdasarkan situasi dan kondisi lokal. Hammad bin Abi Sulaiman, penerus Ibrahim al-Nakha'i, juga membantu mempertahankan tradisi ini, yang kemudian dilanjutkan oleh Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi.[3]
Dari sejarah, dapat dipahami bahwasanya munculnya madzhab-madzhab fikih pada periode sahabat dn tabi’in merupakan puncak perjalanan kesejarahan fikih. Bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarahnya sendiri, tidak karena pengaruh hukum Romawi sebagaimana dituduhkan para orientalis.[4]
Berbeda dengan wilayah Hijaz yang lebih mengutamakan hadis sebagai sumber hukum utama, Kufah mengembangkan pendekatan hukum yang lebih terbuka terhadap penggunaan akal dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum yang baru muncul. Metode ini dikenal dengan istilah "Ahl al-Ra'yu", yang menjadi ciri khas Madrasah Kufah dan berpengaruh besar dalam pembentukan Mazhab Hanafi, salah satu mazhab fikih terbesar di dunia Islam.[1]
A. Madzhab Awal Di Madinah
Sa’īd bin al-Musayyib dikenal sebagi penghulu para tābi’īn, menantu Abū Hurairah, ahli hadīṡ, termasuk dalam al-fuqahā’ al-sab’ah (tujuh pakar fikih Madīnah), sosok ulama tābi’īn yang berwibawa, ahli ibadah dan terkemuka di berbagai bidang ilmu.
Nama lengkapnya adalah Abū Muhammad Sa’īd bin al-Musayyib bin Hazn bin Abī Wahb bin ‘Amr bin Ᾱ’iż bin ‘Imrān bin Makhzūm bin Yaqaẓah al-Qurasyī al-Makhzūmī[2]. Ia berasal dari bani Makhzum kakeknya termasuk dari sahabat Nabi. Kakeknya masuk Islam saat Fatḥu Makkah, dan wafat di perang Yamamah dalam pemerintahan Abū Bakr al-Siddīq.[3] Ayahnya adalah di antara sahabat yang membaiat Nabi ﷺ di Bai’at al-Riḍwān (janji kesetiaan) di tahun 6 H.[4]
Ia berasal dari banī Makhzūm. Ayahnya, al-Musayyib, dan kakeknya, Hazn, adalah termasuk dari sahabat Nabi. Kakeknya masuk Islam saat Fatḥu Makkah, dan wafat di perang Yamamah dalam pemerintahan Abū Bakr al-Muayyib adalah sekitar tahun 15 H.[5] Ayahnya adalah di antara sahabat yang membaiat Nabi ﷺ di Bai’at al-Riḍwān (janji kesetiaan) di tahun 6 H.[6]
Ia lahir di Madinah pada tahun kedua atau keempat setelah Umar bin al-Khaṭṭab raḍiyallāhu ‘anhu didaulat sebagai khalifah.[7] Kepemimpinan Umar bin al-Khaṭab raḍiyallāhu ‘anhu dimulai dari tahun 13 H hingga 23 H. Dari data ini dapat diperkirakan bahwa tahun kelahiran Sa’īd bin al-Muayyib adalah sekitar tahun 15 H.
Perkembangan ilmu Sa’īd bin al-Musayyib sangat didukung oleh faktor-faktor tersebut. Ia lahir di kota Madinah, yang saat itu merupakan ibu kota kekhilafahan Islam. Suasana keilmuan di kota ini sangat kental karena mayoritas senior-senior sahabat Nabi masih mendiami kota ini. Oleh karena itu, wawasan keilmuannya berkembang sejak masa kecilnya di bawah bimbingan para sahabat.
Keberadaan sahabat-sahabat Nabi di kota Madinah bagai mata air ilmu yang tidak ia sia-siakan. Langkah kakinya selalu tergerak untuk menimba ilmu dari mata air yang jernih itu. Imam Malik bin Anas (w. 179 H) meriwayatkan bahwa Sa’īd bin al-Musayyib di masa menuntut ilmu, selalu ber-mulāzamah kepada Sa’d bin Abī Waqqāṣ dan Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhum. [8]
Ketekunan dan kesungguhan Sa’īd bin al-Musayyib dalam menuntut ilmu tidak diragukan lagi. Di manapun sumber ilmu itu berada, ia bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Hal itu diketahui dari penuturan Sa’īd bin al-Musayyib sendiri, ia berkata, “Aku pernah melakukan perjalanan panjang berhari-hari untuk mendapatkan satu buah hadīṡ.”
Dalam hal periwayatan hadīṡ, Sa’īd bin al-Musayyib murni mengambil dari sahabat Nabi atau tabi’īn yang ṡiqah. Oleh karenanya, jika hadīṡ mursal masuk dalam kategori hadīṡ ḍa’īf, maka berbeda dengan hadīṡ mursal riwayat Sa’īd bin al-Musayyib. Ahmad bin Hambal (w. 241 H) berkata, “Kumpulan hadīṡ mursal riwayat Sa’īd bin al-Musayyib mayoritasnya adalah ṣaḥīḥ. Al-Zahabī (w. 748 H) berkata, Hadīṡ mursal riwayat Sa’īd bin al-Musayyib adalah hujjah.”[9]
B. Perbedaan Pendekatan Madrasah Kufah dan Madinah
Dalam makalah ini, penulis akan menguraikan pendekatan madrasah kufah dan madinah. Pendekatan madrasah di Kufah dan Madinah memiliki perbedaan signifikan dalam metode dan sumber hukum yang digunakan.
1. Madrasah Kufah:
a. Penggunaan Akal (Ahl al-Ra'yu):
Madrasah Kufah mengutamakan penggunaan akal dalam merumuskan hukum, memungkinkan mereka untuk lebih terbuka dalam menangani masalah kontemporer.[10]
b. Panca Indra Pendengaran: Ulama Kufah menggunakan panca indra pendengaran untuk memahami bahasa Arab klasik dan mengacu pada kabilah-kabilah Arab fasih, menghasilkan pendekatan yang berbeda dalam fikih.[11]
- Hadis Mursal: Ulama Kufah seperti Sa'id bin al-Musayyib selektif dalam menerima hadis sahih, tetapi mereka juga menggunakan hadis mursal dalam keadaan tertentu.[12]
2. Madrasah Madinah
a. Fokus pada Hadis: Pendekatan Madrasah Madinah sangat bergantung pada hadis, karena keberadaan sahabat-sahabat Nabi sebagai sumber utama hukum di kota tersebut.[13]
b. Kurikulum Terstruktur: Di Madinah, pendidikan lebih terintegrasi, termasuk pelajaran agama dan keterampilan dasar yang diajarkan pada masa Nabi SAW.[14]
c. Sejarah dan Tradisi: Tradisi Madinah yang kuat dalam pengajaran dipelopori oleh ulama besar seperti Imam Malik, yang mendirikan madrasah berpengaruh dalam perkembangan fikih Sunni.[15]
C. Kesimpulan
Al-Qur'an dan Sunnah memiliki peran yang sangat penting sebagai sumber ajaran Islam. Al-Qur'an, sebagai wahyu yang dijamin keotentikannya, berfungsi sebagai sumber hukum utama, sedangkan Sunnah berfungsi sebagai penjelas dan penjabar dari Al-Qur'an. Hadis Nabi, yang merupakan sumber kedua, memiliki fungsi operasional yang mendukung pemahaman dan penerapan ajaran Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks hukum Islam, terdapat perbedaan pendekatan antara berbagai madzhab, seperti Madzhab Kufah yang lebih terbuka terhadap penggunaan akal dalam menyelesaikan masalah hukum, dibandingkan dengan wilayah Hijaz yang lebih mengutamakan hadis. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan hukum Islam sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan intelektual pada masa itu.
Secara keseluruhan, pemahaman yang mendalam tentang Al-Qur'an dan Sunnah, serta peran hadis dalam menjelaskan dan menerapkan ajaran tersebut, sangat penting untuk membangun landasan hukum dan moral dalam masyarakat Islam.
[1] Ikwanuddin Harahap Memahami Urgensi Perbedaan Madzhab Dalam Hukum Islam Diera Millenial, dalam Jurnal Kesyariahan dan Keperdataan Vol. 5 No. 1 Edisi Januari-Juni 2019 21
[2] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, (cet. 2, Muassasah al-Risālah, Beirut, 1405 H/1985 M), vol. 4, h. 217.
[3] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, Tahzīb al-Kamāl fī Asmā’i al-Rijāl, (cet. 1,Muassasah al-risālah, Ibnu Hajar al-Asqalānī, al-Iṣābah fī Tamyīz al-Sahābah, (cet. 1, Dār al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut, 1415 H), vol. 6, h. 96. Beirut, 1400 H/1980 M), vol. 5, h. 591.
[5] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, Tahzīb al-Kamāl fī Asmā’i al-Rijāl, (cet. 1,Muassasah al-risālah, Beirut, 1400 H/1980 M), vol. 5, h. 591.
[6] Ibnu Hajar al-Asqalānī, al-Iṣābah fī Tamyīz al-Sahābah, (cet. 1, Dār al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut, 1415 H), vol. 6, h. 96.
[7] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, Tahzīb al-Kamāl fī Asmā’i al-Rijāl, vol. 11, h. 67.
[8] Abū Yusuf Ya’qūb bin Sufyan al-Fārisī, al-Ma’rifah wa al-Tārīkh, (cet. 2, Mu’assasah al-Risālah, Bairut, 1401 H/1981 M), vol. 1, h. 470.
[9] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, vol. 4, h. 222.
[10] Arfiyah Nur, Ra’yu sebagai sumber hukum islam dalam Jurnal Al-‘Adalah Keperdataan Vol. 9 No. 4 Edisi Juli 2012 379
[11] Ibid 382
[12] Ibid 390
[13]Uyun Hoirul, Efek Globalisasi yang dihadapi masyarakat kotemporer terhadap perekonomian Jurnal Ilmu komunikasi dan sosoial Vol.1, No.1 Maret 2023 1-2
[14] Rasyad hasann Khalil, Tarikh tasyri’ , Amzah, Jakarta,2010, 95
[15] Ibid 96
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Kufah diakses 10 Mei 2016
[3] Jurnal Ijtihad, VOL. 16 No.1 Tahun 2020
[4] Di antara orang-orang orientalis yang menuduh Islam banyak mengambil tatanan hukumnya dari Romawi adalah Goldzier, Von Kremer, Scheldom Amos, Nallion dan Fitzgerald. Dr. Abdul Karim Zaidan mendiskusikan masalah ini cukup detail dalam bukunya Al-Madkhal Li Dirasay al-Syari’ah al-Islamiyah, Cet IV, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981)
[1]Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: Pustaka Al-Húna Zikra,
1992), 24
[2]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), 42.
[3]Ali Mufrodi, Islam di kawasan Kebudayaan Ârab, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,
DAFTAR PUSAKA
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: Pustaka Al-Húna Zikra,
1992), 24
Ali Mufrodi, Islam di kawasan Kebudayaan Ârab, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,
Arfiyah Nur, Ra’yu sebagai sumber hukum islam dalam Jurnal Al-‘Adalah Keperdataan Vol. 9 No. 4 Edisi Juli 2012 379
Abū Yusuf Ya’qūb bin Sufyan al-Fārisī, al-Ma’rifah wa al-Tārīkh, (cet. 2, Mu’assasah al-Risālah, Bairut, 1401 H/1981 M), vol. 1, h. 470.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), 42.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kufah diakses 10 Mei 2016
Ikwanuddin Harahap Memahami Urgensi Perbedaan Madzhab Dalam Hukum Islam Diera Millenial, dalam Jurnal Kesyariahan dan Keperdataan Vol. 5 No. 1 Edisi Januari-Juni 2019 21
Ibnu Hajar al-Asqalānī, al-Iṣābah fī Tamyīz al-Sahābah, (cet. 1, Dār al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut, 1415 H), vol. 6, h. 96.
Jurnal Ijtihad, VOL. 16 No.1 Tahun 2020
Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, (cet. 2, Muassasah al-Risālah, Beirut, 1405 H/1985 M), vol. 4, h. 217
Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, Tahzīb al-Kamāl fī Asmā’i al-Rijāl, vol. 11, h. 67.
Uyun Hoirul, Efek Globalisasi yang dihadapi masyarakat kotemporer terhadap perekonomian Jurnal Ilmu komunikasi dan sosoial Vol.1, No.1 Maret 2023 1-2
Komentar