Analisis Hadis I'lam al-Anam: Sebuah Kajian Komprehensif tentang Musaqah dan Muzara'ah
A. Pendahuluan
Fikih Islam, yang berlandaskan Al-Quran dan Sunnah, memberikan pedoman menyeluruh bagi berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal transaksi ekonomi. Di antara berbagai kontrak yang disetujui oleh hukum Islam, Musaqah (bagi hasil untuk buah-buahan atau pohon) dan Muzara’ah, atau sistem bagi hasil dalam konteks pertanian dan pemanfaatan lahan, sebenarnya merupakan contoh konkret dari kemitraan yang setara dan adil. Meskipun praktik ini berakar dari masa lampau, relevansinya belum pudar dalam wacana kontemporer—khususnya terkait pembangunan berkelanjutan, keuangan berbasis etika, dan isu ketahanan pangan. Melalui kontrak-kontrak muzara’ah, pemanfaatan lahan serta tenaga kerja dapat dioptimalkan secara produktif, seraya memastikan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan.
Artikel yang bertujuan menganalisis beberapa Hadis yang dipilih dari karya terhormat I'lam al-Anam karya Syech Nuruddin 'Itr, yang secara khusus berfokus pada prinsip-prinsip yang mengatur Musaqah dan Muzara'ah. Tujuannya adalah untuk membedah identifikasi Hadis, nuansa linguistik, konteks historis (Asbab Wurud), dan implikasi hukum yang mendalam dalam yurisprudensi Islam, yang pada akhirnya bertujuan untuk menerangi aplikasi praktis dan relevansi kontemporernya. Studi akan banyak mengambil dari pemikiran ekonomi Islam modern, khususnya karya-karya dari M. Mufid, O. Sahroni, dan A.A. Karim, untuk menjembatani pemahaman klasik dengan tantangan dan peluang kontemporer.
Pemahaman yang diperoleh benar-benar komprehensif, artikel ini menerapkan metodologi yang cukup terstruktur. Langkah awalnya adalah memastikan hadis yang dipilih sudah tepat dan terjemahannya benar-benar akurat, sehingga tetap setia pada makna bahasa Arab aslinya. Selanjutnya, akan dilakukan analisis linguistik secara mendalam untuk mengurai istilah-istilah yang barangkali masih samar. Proses ini melibatkan rujukan pada leksikografi Arab, baik klasik maupun kontemporer, serta penafsiran hadis, demi memperjelas makna dan konteksnya.
B. Identifikasi hadis dan terjemah
Hadis yang dikaji oleh penulis mengenai kontrak Nabi Muhammad (SAW) dengan penduduk Khaibar, merupakan landasan untuk memahami prinsip-prinsip Islam tentang Musaqah dan Muzara'ah. Hadis ini dilaporkan secara luas dalam koleksi yang otoritatif, termasuk Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, yang membuktikan keaslian dan keandalannya yang tinggi. Pencantumannya dalam I'lam al-Anam karya Syech Nuruddin 'Itr lebih lanjut menggarisbawahi signifikansinya dalam yurisprudensi Islam dan implikasi praktisnya untuk transaksi ekonomi.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: «أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرِ أَوْ زَرْع
Artinya: Dari Ibnu Umar ra: “Sesungguhnya Rasulullah bertransaksi dengan penduduk Khaibar dengan syarat bahwa mereka akan menerima setengah dari apa yang dihasilkannya, baik buah-buahan atau tanaman.
Kisah ini, yang diturunkan melalui sahabat terkenal Abdullah bin Umar, menekankan kesepakatan (“عامل”), pengaturan kontrak langsung yang dimulai oleh Nabi (SAW). Frasa ini menunjukkan transaksi formal dan menetapkan standar untuk perjanjian kemitraan di Setengah dari mereka akan menerima kalimat بشرط ما يخرج منها
Mekanisme bagi hasil, yang merupakan ciri mendasar dari Musaqah dan Muzara'ah, secara eksplisit didefinisikan dalam “pertanian” Untuk menghindari gharar, atau ketidakpastian yang berlebihan atau ambiguitas, sebuah prinsip yang ditekankan dalam pemikiran ekonomi Islam, sangat penting bahwa bagian harus ditentukan dengan jelas dalam kontrak-kontrak Islam.
في رواية لهما: «فسألوه أن يقرهم بها على أن يكفوا عملها ولهم نصف الثمر؟ فقال لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم: نقركم بها ما شئنا، فقروا بها حتى أجلاهم عمر»
Artinya: Dalam suatu riwayat dari keduanya (Bukhari dan Muslim): "Mereka (penduduk Khaibar) meminta kepada Rasulullah SAW agar diizinkan tetap tinggal di tanah mereka dengan syarat mereka mengelola tanah tersebut dan mendapatkan setengah dari hasil panen. Maka Rasulullah SAW bersabda kepada mereka: 'Kami izinkan kalian tinggal di sana selama kami kehendaki.' Maka mereka tetap tinggal di sana hingga Umar (bin Khattab) mengusir mereka."
أن يكفوا عملها
Menjelaskan bahwa orang-orang Khaibar bertanggung jawab atas tenaga kerja sementara Nabi (SAW) mereka akan mengurus budidayanya. Kami akan membiarkan kamu tetap di sana sebagai tetap memegang kendali utama.
نقركم بها ما شئنا
Tindakan selanjutnya oleh Umar ibn al-Khattab untuk merelokasi mereka lebih jauh menggarisbawahi tanah dan pepohonan) dan penyedia tenaga kerja, sebuah elemen inti dalam kontrak Musaqah dan Muzara'ah, yang menyoroti peran-peran yang berbeda antara penyedia modal (yang diwakili oleh sifat perjanjian sebagai kontrak yang dapat dibatalkan, bukan pengalihan kepemilikan secara permanen.
C. Analisi bahasa
Pemahaman yang bernuansa terhadap Hadis dan diskusi terkaitnya membutuhkan pemeriksaan yang cermat terhadap istilah-istilah linguistik tertentu, terutama yang dianggap gharib (tidak umum atau ambigu). Mengklarifikasi istilah-istilah ini sangat penting untuk interpretasi hukum yang akurat dan aplikasi praktis, sebagaimana ditekankan dalam Usul al-Fiqh. Istilah-istilah berikut ini, yang ditemukan dalam konteks yang lebih luas dari Hadis yang diberikan, memerlukan klarifikasi linguistik yang terperinci:
a) كبد رطبة
Artinya Hati yang lembut istilahnya ungkapan meteforis dalam fikih islam yang merujuk pada mahluk hidup, terkhusus hewan, Frasa ini merupakan muncul dalamkelembapan “hati lembangkan kehidupan“
لا تجعل مالي في كبد رطبة
Dalam konteks larangan investasi, jangan sembarangan menaruh dana pada aset yang sifatnya terlalu tidak pasti, apalagi yang melibatkan makhluk hidup seperti ternak. Risiko di sini sudah jelas, karena aset hidup bisa berubah sewaktu-waktu: hari ini sehat, besok siapa tahu. Istilah “kelembaban hati” itu menggambarkan adanya vitalitas, tapi juga risiko tinggi yang nggak bisa diabaikan.
Larangan ini bukan sepenuhnya bersifat kaku, tapi lebih mencondong pencegahan supaya transaksi atau kontrak yang dibuat tidak masuk ke wilayah abu-abu—harus jelas objek dan jaminannya. Prinsipnya selaras dengan kaidah hukum Islam: lebih baik menghindari potensi bahaya dalam bisnis. Jadi, kuncinya: investasi harus jelas, pasti, dan minim risiko yang tidak membutuhkan.
D. Asbab Wurud
Perjanjian Nabi Muhammad SAW dengan penduduk Khaibar berhubungan dengan pembagian hasil pertanian menjadi salah satu dasar dalam sejarah bisnis dan hukum Islam. Penaklukan Khaibar pada tahun 7 Hijriah melahirkan kontrak Musaqah dan Muzara’ah, yang penting dalam hukum agraria Islam. Konteks historis ini esensial bagi pelaku usaha dan profesional hukum untuk penerapan prinsip syariah yang tepat. Kajian hadis tanpa latar belakang peristiwa dapat menyebabkan kesalahan dalam hukum, menjadikan Khaibar acuan utama dalam sistem kontrak dan pengelolaan hasil sesuai syariat.
Khaibar merupakan warga Yahudi yang menempati sebuah oasis besar dan mempunyai tanah yang subur di utara Madinah. Wilayah ini mayoritas ditempati oleh suku-suku Yahudi dan dikenal sistem pertahanan bentengnya yang solid serta lahan pertanian terutama kebun kurma yang sangat produktif. Dalam perjalanan waktu, keberadaan suku-suku Yahudi di Khaibar berkembang menjadi tantangan politik dan militer bagi komunitas Muslim di Madinah. Mereka kerap menjalin aliansi dengan pihak-pihak yang berseberangan dengan Islam, sehingga berpotensi mengancam stabilitas dan keamanan negara Muslim yang baru berdiri.
Pertempuran Khaibar menjadi momen krusial, dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW dengan tujuan menetralkan ancaman tersebut. Setelah kemenangan diraih, Nabi menghadapi tantangan baru: tanah Khaibar sangatlah luas dan produktif, tetapi komunitas Muslim kekurangan sumber daya manusia serta keahlian untuk mengelolanya secara optimal. Sebaliknya, masyarakat Yahudi Khaybar memiliki kompetensi tinggi dalam bidang pertanian.
Suku khaibar menerapkan praktik umum pada masa itu seperti pengusiran atau penyitaan aset, Nabi Muhammad SAW memilih pendekatan yang lebih strategis dan berkeadilan. Beliau menawarkan perjanjian kerja sama penduduk Yahudi tetap mengelola lahan, sementara hasilnya dibagi dua. Keputusan ini tidak hanya efektif secara operasional, tapi juga sesuai dengan prinsip-prinsip Maqasid al-Syariah, khususnya dalam hal pelestarian kekayaan, keadilan, dan kesejahteraan bersama. Pendekatan ini menjadi contoh nyata kebijakan bisnis yang pragmatis dan menguntungkan semua pihak.
Imam Jalaluddin al-Suyuthi (wafat 911 H) dikenal dengan karya-karyanya tentang Asbab Wurud al-Hadis, terutama dalamm kitabnya al-Luma' fi Asbab Wurud al-Hadis yang secara sistematis mengumpulkan dan menjelaskan konteks pengucapan berbagai Hadis. Meskipun Hadis Khaybar tidak ditemukan secara langsung dalam sumber daring untuk bab Bai' di Kitab Asbab Wurud-nya, metodologi Suyuthi tetap relevan, menekankan pentingnya memahami konteks untuk mendapatkan makna Hadis yang benar.
Dalam konteks Hadis Khaibar, memang tidak ada pencatatan penulisan khusus di halaman tertentu, narasi sejarah terkaitan penaklukan Khaibar dan kesepakatan berikutnya sudah menjadi pengetahuan umum yang diakui sebagai Asbab Wurud untuk hadis tersebut. Pemahaman konteks sejarah sangatlah penting untuk menjelaskan alasan di balik penandatanganan kontrak oleh Nabi SAW, isu-isu yang ingin diselesaikan, serta nilai-nilai utama yang ingin ditegakkan.
Memang, kutipan langsung dalam terjemahan daring terkadang tidak tersedia secara spesifik. Namun, hal ini tidak mengurangi fakta bahwa peristiwa Khaibar tetap diakui secara luas sebagai latar belakang utama hadis tersebut. Prinsip-prinsip yang terkait juga telah dijabarkan secara mendalam dalam literatur fiqih dan kajian hadis klasik.
Tujuan utama karya Suyuthi tentang Asbab Wurud adalah memberikan pemahaman kontekstual yang jelas dan komprehensif agar interpretasi hadis Khaibar tidak lepas dari semangat aslinya. Pemahaman ini sangat krusial, khususnya dalam penetapan hukum dan kebijakan yang relevan di masa kini.
Dalam menghadapi tantangan ekonomi modern, penting untuk memastikan bahwa penerapan hukum tetap konsisten dengan tujuan syariah Islam, sehingga kebijakan yang diambil tidak hanya bersifat formalitas, tetapi benar-benar sejalan dengan prinsip dan nilai inti yang diharapkan.
E. Kandungan Hukum
a) Syarat dan Rukun Musaqah-Muzara’ah
Hadis Khaibar, berperan sebagai landasan hukum yang memperbolehkan sekaligus mengatur mekanisme Musaqah (bagi hasil buah atauu pohon) dan Muzara’ah (bagi hasil tanaman/tanah) dalam fiqih Islam. Kedua jenis kontrak inii jelas bukan sekadar kesepakatan informal, melainkan diatur secara legal dengan syarat dan rukun yang wajib dipenuhi agar transaksi tetap sah dan sesuai prinsip Syariah. Penjabaran detail atas unsur-unsurnya menegaskan betapa teliti dan sistematisnya Ushul Fiqh dalam menurunkan ketentuan hukum praktis dari sumber-sumber utama. Jadi, segala prosesnya memang sudah dirancang sedemikian rupa agar akuntabel dan sesuai standar regulasi Syariah. Adapun Syarat-syarat musaqah dan muzara’ah sebagai berikut:
1. Kesepakatan jelas tentang Pembagian Hasil (Nisbah Ma'lumah): Ini adalah syarat yang paling penting, yang secara langsung berasal dari Hadis Khaibar di mana Nabi (SAW) menetapkan “separuh dari apa yang dihasilkan, baik buah atau tanaman.” Bagian dari hasil untuk masing-masing pihak - pemilik lahan atau pemilik pohon dan penggarap - harus secara eksplisit ditentukan dan diketahui pada saat pembentukan kontrak. Pembagian ini harus berupa proporsi (misalnya setengah, sepertiga, seperempat) dari hasil panen yang sebenarnya, bukan jumlah yang tetap atau jaminan pengembalian. Alasan di balik syarat ini adalah untuk menghilangkan gharar (ketidakpastian yang berlebihan atau ambiguitas) dan jahalah (ketidaktahuan) dalam kontrak, yang dapat menyebabkan perselisihan dan ketidakadilan. Seperti yang ditekankan oleh M. Mufid dalam Kaidah Fikih Ekonomi Dan Keuangan Kontemporer, prinsip kejelasan dalam hal kontraktual merupakan hal yang sangat penting untuk mencegah eksploitasi dan memastikan keadilan dalam transaksi ekonomi Islam. Tanpa adanya pembagian yang jelas dan disepakati secara proporsional, kontrak akan dianggap tidak sah karena adanya gharar fahish (ketidakpastian yang besar).
2. Aset produktif (Mawdu’ al-‘Aqd):
Dalam konteks kontrak, subjek yang digunakan harus berupa aset produktif yang memang berpotensi menghasilkan keuntungan. Untuk Musaqah, misalnya, aset yang dimaksud adalah pohon-pohon yang menghasilkan buah—seperti pohon kurma, zaitun, atau anggur—yang memerlukan perawatan intensif agar bisa berproduksi optimal. Sementara untuk Muzara’ah, asetnya berupa lahan pertanian yang memang layak untuk ditanami. Prinsip dasarnya, aset yang digunakan harus benar-benar bisa dibudidayakan atau dikelola guna menghasilkan output yang diharapkan. Hal ini penting agar kontrak yang dijalankan benar-benar berkaitan dengan aktivitas ekonomi secara nyata, bukan aktivitas spekulatif tanpa dasar yang jelas. Supaya tidak terjadi kesalahpahaman, tanah atau pohon yang dijadikan objek kontrak harus diidentifikasi dan disebutkan secara spesifik dalam perjanjian. Langkah ini sejalan dengan prinsip hukum Islam yang mengharuskan setiap kontrak memiliki subjek yang jelas dan diperbolehkan (halal), sehingga risiko ambiguitas dan potensi sengketa dapat diminimalkan.
3. Tenaga kerja dan Usaha (Amal):
Dalam konteks bisnis, pihak yang bertanggung jawab atas penanaman, perawatan, dan pengelolaan baik seorang amil ataupun seorang pekerja maka wajib memiliki kompetensi dan keahlian memadai. Tanggung jawab mereka meliputi seluruh proses mulai dari penanaman, penyiraman, pemupukan, pengendalian hama, hingga panen. Semua aktivitas yang menunjang produktivitas lahan atau pohon harus dijalankan secara profesional. Hadis secara jelas menyoroti peran aktif pekerja, seperti yang terjadi pada penduduk Khaibar yang secara langsung terlibat dalam penanaman. Jenis dan volume pekerjaan sebaiknya sudah disepakati sejak awal, dituangkan secara rinci dalam kontrak kerja agar mencegah potensi konflik di kemudian hari. Dalam ekonomi Islam, kontribusi tenaga kerja dipandang sebagai salah satu bentuk modal, setara dengan modal finansial dan tanah. Ini menegaskan bahwa usaha manusia memiliki nilai strategis dalam menciptakan dan meningkatkan kekayaan.
4. Durasi (Muddat al-‘Aqd):
Walaupun Hadis Khaibar tidak memperjelas secara rinci persoalan jangka waktu kontrak, para ulama’ klasik maupun kontemporer sepakat bahwa durasi kontrak perlu ditetapkan,baagaimana secara eksplisit atau setidaknya dipahami bersama. Dalam praktik muzara’ah, biasanya durasi berlaku sampai masa panen berakhir. Untuk musaqah dengan tanaman tahunan, durasi bisa ditetapkan beberapa tahun atau hingga target hasil tertentu tercapai. Menentukan durasi ini sangat krusial, karena memberikan kepastian bagi kedua pihak, memudahkan perencanaan, serta alokasi sumber daya yang lebih efisien. Jika durasinya tidak jelas, bisa muncul unsur gharar yang membuat kontrak sulit untuk dijalankan, karena kedua belah pihak seharusnya tahu berapa lama komitmen mereka dan apa hasil yang diharapkan. Kepastian soal waktu menjadi fondasi penting dalam kelangsungan kontrak yang sehat dan profesional.
b) Pratik Pelaksanaan Musaqah dan Muzara’ah
Implementasi praktis pada Musaqah dan Muzara'ah paling baik dipahami dengan mengkaji penerapan sejarahnya, khususnya contoh penting Khaibar, dan kemudian mengeksplorasi relevansi kontemporer dan beragam penerapannya dalam keuangan Islam modern. Fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi dari kontrak-kontrak ini, yang berakar pada prinsip-prinsip utama pembagian risiko dan keadilan, memungkinkan mereka untuk melampaui konteks sejarah dan menawarkan solusi yang layak untuk tantangan ekonomi saat ini. Seperti yang disoroti oleh M. Mufid dalam Filsafat Hukum Ekonomi Syariah, penerapan praktis dari prinsip-prinsip hukum Islam selalu ditujukan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan masyarakat.kesejahteraan dan keadilan. Praktik Historis: Praktik historis Musaqah dan Muzara'ah menemukan contohnya yang paling menonjol dan instruktif dalam hubungan Nabi Muhammad (SAW) dengan komunitas Yahudi di Khaybar. Setelah penaklukan Khaibar, Nabi Muhammad dihadapkan pada keputusan strategis tentang bagaimana mengelola lahan pertanian yang luas dan subur. Alih-alih menyita tanah dan mengusir penduduknya, yang memiliki keahlian pertanian yang tak ternilai, Nabi (SAW) memilih jalan yang saling menguntungkan dan bekerja sama.
Sejarah Pratik Dalam Khaibar
Dalam konteks Musaqah dan Muzara’ah, salah satu contoh sejarah yang paling signifikan tampak dalam interaksi Nabi Muhammad SAW dengan komunitas Yahudi di Khaybar. Pasca penaklukan Khaybar, Nabi menghadapi persoalan strategis mengenai pengelolaan lahan pertanian yang sangat luas dan subur. Alih-alih mengambil alih lahan secara sepihak atau mengusir penduduk yang memiliki pengetahuan pertanian mendalam, Nabi Muhammad SAW memilih pendekatan kolaboratif yang saling menguntungkan.
Keputusan ini tidak hanya cerminan kebijaksanaan pragmatis, tetapi juga didasari secara kuat oleh prinsip keadilan, kasih sayang, dan pemanfaatan sumber daya secara optimal sesuai tuntunan Islam. Pendekatan tersebut memperlihatkan bagaimana nilai-nilai Islam dapat diimplementasikan dalam praktik sosial-ekonomi, sekaligus menjaga keberlanjutan produktivitas pertanian serta harmoni sosial di wilayah tersebut.
Dalam perjanjian tersebut, masyarakat Yahudi memiliki tanggung jawab untuk mengelola lahan dan memelihara pohon kurma, termasuk menanggung seluruh biaya tenaga kerja dan operasional. Sebagai imbalan, mereka memperoleh setengah dari hasil panen—baik berupa buah maupun tanaman lainnya sedangkan separuh sisanya menjadi hak komunitas Muslim. Pengaturan ini pada dasarnya merupakan formalisasi dari praktik Musaqah untuk pohon kurma dan Muzara’ah untuk lahan pertanian. Esensi dari praktik historis ini terletak pada prinsip kerja sama dan distribusi sumber daya secara adil.
Pembagian Risiko: Dalam pola kemitraan , pemilik tanah Muslim dan petani Yahudi sama-sama menanggung risiko dan pembagian hasil secara proporsional. Jika panen berhasil, keduanya memperoleh keuntungan sesuai kesepakatan; sebaliknya, kerugian juga ditanggung bersama. Skema ini jelas berbeda dari sistem sewa tetap atau berbasis bunga, yang kerap membebankan seluruh risiko pada satu pihak dan berpotensi memunculkan relasi eksploitatif.
Pemanfaatan Keahlian: Perjanjian tersebut secara efektif mengoptimalkan keahlian pertanian yang sudah dimiliki oleh masyarakat Yahudi. Pendekatan ini memaksimalkan produktivitas lahan, sekaligus sejalan dengan prinsip-prinsip Islam yang menekankan pemanfaatan sumber daya manusia secara adil dan efisien, demi kemaslahatan bersama.
Distribusi yang Adil: Mekanisme pembagian hasil 50:50 sebagaimana tercantum dalam Hadis, menawarkan sistem distribusi yang jelas dan adil. Pendekatan proporsional ini menegaskan bahwa kompensasi masing-masing pihak sepadan dengan risiko dan kontribusi yang diberikan, memperkuat prinsip keadilan.
Fleksibilitas Kontrak: Pernyataan Nabi, “Kami akan membiarkan kamu tinggal di sana selama yang kami inginkan,” menegaskan sifat kontrak yang fleksibel dan dapat disesuaikan dengan perubahan kondisi. Fleksibilitas ini memungkinkan adaptasi tanpa mengabaikan prinsip-prinsip etika, sehingga membedakan kontrak ini dari bentuk perjanjian yang lebih kaku.
Praktik Kontemporer: Beradaptasi dengan Realitas Modern Di era kontemporer, prinsip-prinsip dasar Musaqah dan Muzara'ah telah menemukan relevansi baru dan aplikasi yang beragam di luar pertanian tradisional. Meningkatnya permintaan akan produk keuangan yang etis dan sesuai dengan Syariah telah mendorong adaptasi yang inovatif dari kontrak-kontrak ini di berbagai sektor. M. Mufid, dalam Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, membahas bagaimana prinsip-prinsip fikih klasik ditafsirkan ulang untuk .mengatasi tantangan-tantangan ekonomi modern.
Dalam konteks pertanian modern, model kemitraan seperti Muzara’ah masih memegang peran penting—terutama di wilayah di mana kepemilikan lahan cenderung terpusat pada kelompok kecil, sementara tenaga kerja dan pengetahuan pertanian tersebar luas di masyarakat. Sistem Muzara’ah pada dasarnya memberikan solusi bagi pemilik lahan yang tidak memiliki waktu atau keahlian khusus di bidang pertanian, untuk bermitra dengan petani yang berpengalaman. Biasanya, petani menyediakan tenaga kerja, benih, dan input produksi lainnya, sedangkan pemilik lahan menyediakan aset utamanya, yaitu lahan itu sendiri. Bagian hasil panen dibagi sesuai kesepakatan yang telah ditentukan sejak awal, setelah memperhitungkan biaya produksi. Dengan cara demikian, lahan dapat dimanfaatkan secara optimal, petani skala kecil bisa mendapatkan peluang pendapatan yang lebih baik, dan roda ekonomi pedesaan pun tetap berputar.
Sementara itu, model Musaqah umumnya diterapkan pada sektor perkebunan, seperti kebun buah, kebun anggur, bahkan pertanian hidroponik masa kini.
Pola kemitraannya mirip: Satu pihak bertanggung jawab terhadap perawatan dan budidaya tanaman, sementara pihak lain menyediakan lahan atau infrastruktur pendukung. Hasil panen kemudian dibagi dengan proporsi yang telah disepakati bersama. Fleksibilitas dua model ini memungkinkan penerapan di berbagai situasi pertanian, baik tradisional maupun modern.
Menariknya, lembaga keuangan mikro Islam sekarang juga semakin mengadopsi kontrak Muzara’ah dan Musaqah.
Tujuannya jelas: Menjangkau individu dan usaha kecil yang seringkali tidak terlayani oleh bank konvensional. Alih-alih memberikan pinjaman berbunga, mereka menawarkan dukungan berbasis bagi hasil, yang secara prinsip lebih adil dan relevan untuk ekosistem pertanian yang inklusif.
Kesimpulannya, model-model kemitraan ini tetap relevan dan adaptif di zaman sekarang, khususnya bagi sektor pertanian yang ingin terus berkembang tanpa harus terjebak pada pola pinjaman konvensional yang kadang kurang berpihak pada petani kecil.
Kontrak Islam klasik Musaqah dan Muzara'ah, dalam beberapa tahun terakhir, telah memberikan fondasi konseptual bagi berbagai instrumen investasi kontemporer yang sesuai dengan Syariah. Sebagai contoh, dana investasi Islam sekarang dapat memobilisasi modal dari investor untuk mengakuisisi lahan pertanian atau membiayai perusahaan pertanian yang ekspansif. Dana-dana ini sering kali masuk ke dalam perjanjian Muzara'ah dengan manajer pertanian profesional atau perusahaan pertanian yang sudah mapan; keuntungan yang dihasilkan dari panen kemudian didistribusikan antara investor (melalui dana) dan operator pertanian. Pengaturan ini memastikan partisipasi investor dalam kegiatan ekonomi yang nyata sambil mengekspos mereka pada risiko dan imbalan yang melekat pada pertanian-menawarkan alternatif yang etis untuk pembiayaan berbasis ekuitas atau utang konvensional.
Demikian pula, penerbitan Sukuk al-Muzara'ah atau Sukuk al-Musaqah menyediakan mekanisme untuk membiayai usaha pertanian berskala besar. Pemegang sukuk ini pada dasarnya menjadi pemilik bersama dalam proyek pertanian dan berbagi secara langsung dalam keuntungannya, yang membedakan instrumen ini dari obligasi tradisional yang berbunga.
Dalam konteks teknologi pertanian dan meningkatnya penekanan pada praktik-praktik pertanian yang berkelanjutan, kontrak Musaqah dan Muzara'ah tetap sangat relevan. Kerangka kerja tersebut dapat memfasilitasi kemitraan antara penyedia teknologi, pemilik lahan, dan petani.
Kesimpulan\
Hadis utama yang dikaji adalah perjanjian Nabi Muhammad SAW dengan penduduk Khaibar, yang menjadi landasan bagi prinsip-prinsip Musaqah dan Muzara'ah. Hadis ini, yang diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, menekankan kesepakatan bagi hasil setengah dari apa yang dihasilkan, baik buah-buahan maupun tanaman. Analisis linguistik mendalam terhadap istilah-istilah seperti "kabad ratbah" (hati yang lembut) memberikan pemahaman nuansa tentang larangan investasi pada aset yang terlalu tidak pasti, khususnya yang melibatkan makhluk hidup, menekankan pentingnya kejelasan dan minimnya risiko dalam transaksi Islam.
Asbab Wurud dari Hadis Khaibar, yaitu penaklukan Khaibar pada tahun 7 Hijriah, menjadi kunci untuk memahami konteks historis dan alasan di balik penetapan kontrak Musaqah dan Muzara'ah. Keputusan Nabi Muhammad SAW untuk bermitra dengan penduduk Yahudi Khaibar dalam mengelola lahan pertanian, alih-alih mengusir mereka, menunjukkan kebijaksanaan pragmatis dan keadilan Islam dalam pemanfaatan sumber daya dan menjaga harmoni sosial. Ini juga menyoroti fleksibilitas kontrak yang dapat disesuaikan dengan kondisi, namun tetap berpegang pada prinsip-prinsip etika.
Dalam kandungan hukum, syarat dan rukun Musaqah-Muzara'ah, termasuk kesepakatan jelas tentang pembagian hasil (nisbah ma'lumah) untuk menghindari gharar, aset produktif (mawdu' al-'aqd) yang berpotensi menghasilkan keuntungan, tenaga kerja dan usaha (amal) yang kompeten, serta durasi (muddat al-'aqd) yang jelas. Praktik historis di Khaibar menunjukkan bagaimana pembagian risiko, pemanfaatan keahlian, dan distribusi yang adil menjadi inti dari kontrak ini.
Relevansi kontemporer Musaqah dan Muzara'ah juga dibahas, menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ini diadaptasi dalam keuangan Islam modern, seperti dalam model kemitraan pertanian dan perkebunan, serta instrumen investasi syariah seperti Sukuk al-Muzara'ah atau Sukuk al-Musaqah. Hal ini menegaskan bahwa kontrak-kontrak klasik ini tetap relevan dan adaptif, menawarkan solusi etis untuk tantangan ekonomi saat ini, dan mendukung pembangunan berkelanjutan serta inklusivitas ekonomi.
Daftar Pustaka
Abu Abdillah Muhammad bin Qasim bin Muhammad Al-Ghazali, Terjemah Fathul Qorib,(Surabaya, Mutiara Ilmu,1995).
Abu Bakar Ahmad ibn Ali ibn Tabib Al-Khatib Al-Bagdadi, Al-Kifāya fī 'Ilm al-Riwāya, (Dammam,Dar ibn Al-Jawzi, 2003).
Al-Qur’an dan Terjemahannya , Kemenag 2019
Bahrun Abu Bakar,(Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005).
Dr.Faisol bin Madi, Studi Ulum Al-Hadis,(Mangli Jember,Jember Press,2014).
Endang Soetari, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah, (Bandung,Mimbar Pustaka, 2005).
Jamal al-Din Ibn Hisham al-Ansari,Mughni al-Labib 'an Kutub al-A'arib,(Lebanon,Dar al-fikr,1985).
Muhammad bin yusuf al-salihin al-syam, Sabal al-Hudā wa al-Rashād, (Beirut,Dar al-Kutub al-ilmiyyah,1993).
Muhammad ibn Ahmad Al-Ramli, Nihayat al-Muhtaj, ( Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,, 2003).
Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud Studi Kritis Hadits Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual,(Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2001).
Syaikh 'Abd al-Rahman bin Nasir al-Sa'di, Al-Ta'liqat al-Athariyyah 'ala al-Manzumah al-Bayquniyyah,(Dammam, Dar ibn Al-Jawzi, 2015).
Syech Nuruddin ‘Itr, I’lam al-Anam ,(Damaskus,Dar al-Minhāj al-Qawīm,1440,2019).
Komentar