D emokrasi telah menjadi semacam mantra yang terus diulang-ulang di berbagai tempat dan daerah, terutama di Indonesia. Seluruh lapisan masyarakat membahas
kedaulatan rakyat seolah-olah itu merupakan jawaban atas segala permasalahan
politik. Di balik jargon kebebasan, partisipasi publik, dan transparansi kepemimpinan,
demokrasi sering dipuja-puja sebagai landasan utama sistem pemerintahan. Namun,
realitasnya, di negara dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Indonesia,
diskursus tentang demokrasi dan hukum Islam tidak pernah benar-benar tuntas.
Pertanyaan tentang kesesuaian demokrasi dengan syariat Islam selalu muncul,
terutama saat musim pemilu topik ini ramai diperbincangkan.
Beranjak dalam hal tersebut Fikih Siyasah, sebuah disiplin ilmu yang kurang dihargai
(underrated), sebenarnya merupakan panduan Islam tentang bagaimana negara harus
dijalankan, termasuk sejarahnya dan hukum publiknya. Fikih Siyasah tidak hanya
membahas tentang siapa yang menjadi pemimpin, tetapi juga bagaimana masyarakat
dilibatkan, keadilan ditegakkan, dan pejabat tidak dapat bertindak semena-mena.
Menurut penulis, Fikih Siyasah dapat membantu kita memikirkan kembali makna
demokrasi di Indonesia. Tanpa memahami konteksnya/persoalannya, sering kali
mengadopsi konsep demokrasi barat secara mentah-mentah tanpa
mempertimbangkan kesesuaiannya dengan realitas lokal.
Dari pemilu pertama Indonesia tahun 1 9 5 5 yang katanya bebas banget sampai zaman
Orde Baru yang super dikontrol, terus sekarang di era reformasi yang udah lebih
terbuka lewat pilkada langsung, perjalanan demokrasi di sini tidak pernah mulus
mulus sekali. Setiap era punya dramanya sendiri. Dan setiap perubahan itu nunjukin
gimana demokrasi global nabrak-nabrak sama kondisi sosial, budaya, sama agama di
sini.
Salah satu fenomena paling absurd (menarik) adalah soal pemimpin tunggal di
Pilkada. Cuma satu calon, tapi tetap saja dipilih lewat mekanisme demokrasi. Lucu
tidak? Di sinilah Fikih Siyasah masuk, membahas gimana partisipasi pemilih dan
prinsip musyawarah bisa diartikan ulang dalam kasus kekinian. Jadi, ini bukan cuma
soal teori, tapi juga studi kasus nyata yang bisa dibedah dari sudut pandang fikih.
II. Demokrasi Menurut Syariat Islam Dan Fikih Siyasah
Sejak dahulu, para cendekiawan baik dari dunia Islam maupun Barat telah lama
berdebat mengenai isu "Islam versus demokrasi". Terdapat perbedaan pendapat di
antara mereka, ada yang berpendapat bahwa keduanya tidak berhubungan,
sementara yang lain meyakini bahwa keduanya dapat bersesuaian. Untuk
menghindari kesalahpahaman, sangat penting untuk memandang demokrasi dari
perspektif Islam, dengan Fikih Siyasah sebagai kerangka teoritisnya.
A. Prinsip Demokrasi Dalam Islam
Demokrasi merupakan sistem pemerintahan di mana rakyat memegang kendali
tertinggi. Nilai akuntabilitas, kesetaraan, kebebasan berbicara, sama partisipasi jadi
menu utama. Meskipun istilah "demokrasi" tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al
Qur\'an atau Sunnah, banyak Muslim meyakini bahwa nilai-nilai tersebut sebenarnya
telah diajarkan sejak dini dalam pendidikan Islam [1 ]. Prinsip-prinsip yang seperti ini
seringkali menjadi bahan diskusi dan debat secara mendalam.
1
. As-Syura (Musyawarah)
Musyawarah adalah membicarakan bersama buat memutuskan sesuatu bersama
tidak main diktator. Dalam Islam, konsep ini benar-benar digaris bawahi, bahkan Nabi
Muhammad SAW saja dapat perintah langsung dari Allah di Al-Qur’an surah Ali
\'Imran ayat 1 5 9 “dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu." [2 ]
Prinsip ini berhubungan sama konsep partisipasi publik sama keputusan bareng
bareng di demokrasi. Keputusan diambil setelah dengerin dulu suara dari macam
macam orang. Tidak main putus saja harus ada pertimbangan dari berbagai sudut
pandang.
2
. Al-Adalah (Keadilan)
Ini bukan cuma jargon kosong di Islam, tapi benar-benar nilai yang digaris bawahi
habis-habisan. Al-Qur’an sama Sunnah itu tidak lelah memberikan peringatan buat
terus untuk berlaku adil, bisa jadi itu di urusan negara, hukum, atau bahkan hal
remeh-remeh sehari-hari. Allah sudah berkata, di Surah An-Nisa ayat 5 8 ,
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil." [3 ] Di dunia demokrasi, keadilan ini bercerminke penegakan hukum yang tidak berat sebelah, hak-hak minoritas juga harus dijaga,
dan pembagian sumber daya itu harus adil, jangan sampai ada yang diberlakukan
tidak adil. Intinya, setiap orang berhak dapat haknya tanpa diskriminasi tidak peduli
dia siapa, dari mana, atau minoritas sekalipun.
3
. Al-Amamah (Amanah)
Amanah itu bukan cuman soal kepercayaan, tapi beban tanggung jawab. Dalam Islam,
kekuasaan pada dasarnya, titipan dari Allah. Bukan untuk pamer, tapi harus dijalani
dengan rasa tanggung jawab dan integritas yang tidak setengah-setengah. Pemimpin
harus jujur, tidak bisa asal janji-janji manis saja ke rakyat harus menepati juga janjinya.
Konsep amanah ini bukan bersenang-senang melakukan sesuatu, Nabi Muhammad
SAW sudah berhati-hati dalam meriwayatkan hadisnya: setiap pemimpin itu seperti
penggembala, dan suatu saat nanti, mereka bakal dituntut pertanggungjawaban atas
apa yang mereka lakukan. [4 ]
4
. Al-Hurriyah (Kebebasan)
Islam sebenarnya memberikan ruang buat kebebasan individu, punya keyakinan, atau
berekspresi, silakan saja, asal tidak berpaling dengan syariat dan tidak menyakitkan
orang lain. Ini benar-benar bersambung sama semangat demokrasi, di mana orang
bebas ikut membahas urusan politik atau teriak suara hati mereka. Ada batasannya.
Semua tetep harus memikirkan tanggung jawab, jangan sampai kebebasan
menyusahkan orang banyak atau melanggar aturan agama.
5
. Al-Mas’uliyyah (Tanggungjawab)
Setiap orang tidak peduli pemimpin atau rakyat biasa punya tanggung jawab sama
atas apa yang telah dilakukann, termasuk keputusan-keputusannya. Di Islam,
pemimpin itu bakal ditanya sama Allah, serta sama rakyatnya juga. Ini seperti sama
konsep akuntabilitas di demokrasi. Pemimpin harus siap dimintai pertanggungjawaban soal kebijakan atau tindakannya sama rakyatnya sendiri. Udah jelas banget, kayak yang disebut di Al-Muwatta’ Riwayat Yahya al-Laytsi, pokoknya setiap orang wajib bertanggung jawab atas apa yang udah diamanahin ke pemimpin.[5 ] Berbicara tentang demokrasi sama Islam itu seperti debat tidak ada selesainya, Soalnya, orang beda-beda pendapat soal siapa sebenarnya yang punya kuasa. Di
demokrasi barat, rakyat pegang kendali penuh, segala keputusan di tangan rakyat.Kalau di Islam, kedaulatan mutlak milik Allah, bukan manusia. Tapi, sekarang makin
banyak juga cendekiawan Muslim yang bilang, "Sebenernya rakyat mennggatur
sendiri itu justru bagian dari menjalankan amanah Allah," Jadi, pemilihan pemimpin
sama urusan negara bisa aja dianggap bentuk nyata dari kedaulatan Tuhan, selama
tetap menggikuti aturan syariat Islam. [6 ] Jadi, demokrasi bisa menjadi alat buat
menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara, asalkan tidak berbenturan
dengan prinsip-prinsip utama syariat.
B. Pengertian dan Ruang Lingkup Fikih Siyasah
Fikih Siyasah adalah cabang ilmu dalam hukum Islam yang mempelajari konsep
negara, pemerintahan, sama aturan publik. Kalo dibahas satu-satu, “fikih” artinya
paham sedangkan “siyasah” lebih condong keurusan politik, administrasi, sama
hal-hal publik. Fikih Siyasah adalah pemahaman negara dan pemerintah yang harus
dijalankan dengan prinsip-prinsip syariat Islam sebagai dasarnya. [7 ] Secara umum,
ruang lingkup Fikih Siyasah terbilang luas atau mencakup beberapa hal sebagai
berikut:
1
. Imamah/Khilafah (Kepemimpinan)
Fikih Siyasah membahas tentang kriteria pemimpin yang bagus, proses memilih
sampai pergantian pemimpin, hak dan kewajiban ke rakyatnya. Seperti dikitab Al
Ahkam as-Sulthaniyah karya Al-Mawardi. Didalamnya membahas tentang syarat
syarat menjadi imam (pemimpin). [8 ]
2
. Hukum dan Konstitusi
Fikih Siyasah mempelajari pondasi hukum negara Jadi, seperti apa syariat bisa masuk
ke dalam undang-undang sama sistem peradilan. Al-Qawanin al-Fiqhiyah, itu lebih
fokus membahas detail-detail hukum yang berhubungan urusan kenegaraan. [9 ]
3
. Hubungan Lembaga Negara
Eksekutif, legislatif, dan yudikatif merujuk pada sistem checks and balances dalam
pemerintahan. Konsep modern ini tidak muncul di era klasik. Namun, gagasan untuk
menjaga agar para pemimpin tetap terkendali dan bertanggung jawab telah menjadi
bagian dari Fikih sejak lama.4. Baitul Mal (Keuangan Negara)
Pengelolaan penerimaan dan pengeluaran anggaran negara mencakup zakat, pajak
serta lain-lain. Banyak kitab fikih, termasuk Al-Majmu\' Syarh al-Muhadzab,
membahas secara detail tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan Baitul Mal.
[1 0 ]
5
. Hubungan Internasional
Dalam konteks hubungan antarnegara, prinsip-prinsip diplomasi, perang, dan
perdamaian memang sangat fundamental. Fikih Siyasah sendiri mengatur hal-hal
seperti perjanjian, pelaksanaan perang (jihad), serta perlakuan terhadap non-Muslim
di dalam negara Islam. Aturan-aturan ini tidak hanya menjadi pedoman etis, tetapi
juga menjadi dasar pengambilan keputusan strategis dalam menjalankan kebijakan
luar negeri dan menjaga stabilitas internal negara.
6
. Hak dan Tanggung Jawab Warga Negara
Hak-hak mendasar warga negara—seperti kebebasan beragama, berekspresi, serta
hak memperoleh keadilan—itu jelas krusial dan tidak bisa diabaikan. Begitu juga
dengan kewajiban yang dipikul setiap warga negara terhadap negaranya; keduanya
berjalan beriringan dan saling melengkapi. Menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban adalah kunci demi terciptanya kesejahteraan serta keadilan sosial. Terkait
Titik Temu dan Perbedaan antara Fikih Siyasah dan Demokrasi, keduanya memiliki
area persinggungan, namun juga terdapat perbedaan mendasar dalam prinsip dan
pelaksanaannya. Hal ini perlu dipahami secara mendalam untuk memastikan
penerapan yang sesuai dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan.
Fikih Politik pada dasarnya merujuk pada Al-Quran, Sunnah Nabi Muhammad SAW,
serta hasil ijtihad para ulama. Tokoh-tokoh seperti Al-Mawardi dan Ibnu Taimiyyah
telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan teori Fikih Politik,
dan pemikiran mereka tetap relevan dalam konteks saat ini. [1 1 ]
C. Titik Temu dan Perbedaan Demokrasi dan Fikih Siyasah
Demokrasi dan Fikih Siyasah saling terkaitan untuk mencapai pemerintahan stabil,
adil, dan masyarakat yang tentram melalui perspektif berbeda. Ada beberapa aspek
yang sejalan sebagai berikut:1. Partisipasi rakyat
Dalam konteks urusan publik, perannya sangat vital, baik dalam sistem demokrasi
maupun dalam Fikih Siyasah. Demokrasi menekankan pentingnya pemilu dan
kebebasan berpendapat, sehingga aspirasi masyarakat bisa tersalurkan. Sementara
itu, Fikih Siyasah mengedepankan prinsip syura atau musyawarah sebagai dasar
pengambilan keputusan. Kedua pendekatan ini pada dasarnya bertujuan untuk
mendorong terciptanya kebaikan bersama melalui prinsip al-amr bi al-ma’ruf.
2
. Keadilan
Keadilan itu, fondasi penting dalam demokrasi maupun Fikih Siyasah. Dalam konteks
demokrasi, supremasi hukum jadi pegangan utama segala sesuatu harus berjalan
sesuai aturan. Sementara di Fikih Siyasah, keadilan justru diangkat sebagai tujuan
tertinggi dari syariat. Imam Al-Ghazali sendiri menegaskan, pemerintahan yang baik
berdiri kokoh di atas prinsip keadilan. Tanpa keadilan, kepemimpinan bisa kehilangan
arah dan kepercayaan masyarakat pun menurun. [1 2 ]
3
. Akuntabilitas Pemimpin
Dalam konteks demokrasi, pemimpin itu tidak cuman sekadar duduk di kursi jabatan,
saja. Tanggung jawabnya jelas bukan cuman ke masyarakat, tapi juga ke Allah. Mereka
wajib mematuhi syariat dan menjalankan prinsip muhasabah, alias evaluasi diri yang
konsisten, sebagaimana ditekankan dalam Fikih Siyasah. Intinya, seorang pemimpin
harus punya integritas tinggi mendengar aspirasi rakyat, patuh pada aturan agama,
dan nggak pernah abai untuk terus memperbaiki diri. Tidak ada ruang buat main
main di sini tanggung jawab itu mutlak.
Namun, terdapat pula perbedaan mendasar yang seringkali menjadi sumber
ketegangan kerangka tinggi dan kedaulatan hukum:
1
. Sumber Kedaulatan
Kedaulatan dalam demokrasi dipegang rakyat, sementara dalam Fikih Siyasah,
kedaulatan tertinggi milik Allah dengan hukum syariat sebagai sumber hukum utama.
Muhammad Abid al-Jabiri membahas hubungan agama dan negara serta
implementasi syariat dalam karyanya yang membahas secara mendalam tentang
hubungan antara agama dan negara serta implementasi syariat. [1 3 ]2. Kerangka Hukum
Demokrasi modern menggunakan hukum positif buatan manusia, sedangkan Fikih
Siyasah mengandalkan syariat Islam sebagai kerangka hukum, mencakup ibadah,
jinayah, dan muamalah. Kitab-kitab fikih seperti Al-Bajuri dan Asna al-Mathalib
menjelaskan secara rinci tentang hukum-hukum syariat yang menjadi pedoman bagi
umat Islam. [1 4 ]
Perbedaan antara demokrasi dan syariat tidak selalu bertentangan. Beberapa
cendekiawan Muslim berpendapat demokrasi dapat mencapai tujuan syariat seperti
keadilan dan perlindungan hak. Konsep demokrasi Islam muncul dengan
menggabungkan elemen-elemen dari kedua sistem, menekankan bahwa Islam
mendukung bentuk pemerintahan selama syariat dan hak individu diperhatikan.
III. Sejarah Perkembangan Pemilu di Indonesia
Perjalanan demokrasi Indonesia, kalau kita lihat dari sejarah pemilu, memang nggak
sederhana—banyak tantangan, perubahan, dan adaptasi, baik dari sisi politik, sosial,
maupun hukum. Dari masa kemerdekaan hingga sekarang, proses demokrasi kita
terus berkembang, meski jalannya kadang berliku. Umumnya, perjalanan pemilu
nasional dibagi dua fase utama: pra-reformasi dan pasca-reformasi. Setiap fase punya
ciri khas dan tantangan tersendiri yang perlu dipahami kalau ingin melihat gambaran
besar evolusi sistem politik Indonesia.
Pemilu Pra-Reformasi (1 9 5 5 -1 9 9 8 ): Pada masa ini, pelaksanaan pemilu berjalan
dengan tingkat kebebasan dan keadilan yang Tidak selalu konsisten. Pemilu 1 9 5 5
sering disebut sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia, dan
dianggap sebagai fondasi awal pelaksanaan demokrasi di negeri ini. Meskipun begitu,
setelah pemilu tersebut, praktik demokrasi masih menghadapi berbagai dinamika
yang mempengaruhi kualitas pelaksanaan pemilu di periode berikutnya.
1
. Pemilu Tahun 1 9 5 5
Pemilu pertama kali di Indonesia diadakan pada 2 9 September 1 9 5 5 dan 1 5 Desember
1
9
5
5
untuk memilih anggota DPR dan Konstituante. Meskipun menghadapi tantangan,
pemilu ini berhasil dengan partisipasi tinggi, sama jujur dan adil, sepuluh tahun
setelah kemerdekaan. [1 5 ] Hasil pemilu ini mencerminkan pluralitas politik Indonesia
pada masa itu, dengan empat partai besar (PNI, Masyumi, NU, dan PKI) mendominasiperolehan suara. Pemilu 1 9 5 5 di Indonesia menjadi tolok ukur demokrasi, akomodasi
kepentingan politik, dan menghasilkan parlemen yang representatif dan potensial
yang sangat besar demokrasi negara yang barusan merdeka.
2
. Pemilu Pada Orde Baru
Setelah Demokrasi Terpimpin, pemilu 1 9 7 1 di Orde Baru di bawah Soeharto berbeda
dari tahun 1 9 5 5 , berfungsi sebagai alat legitimasi kekuasaan pemerintah, bukan
sebagai kompetisi politik yang bebas. Jumlah partai politik dibatasi tiga: Golkar, PPP,
dan PDI. Golkar selalu menang setiap pemilu diselanggarakan dengan suara mayoritas
signifikan selama Orde Baru. [1 6 ]
Ciri khas pemilu Orde Baru meliputi: Dominasi Golkar: Golkar selalu menjadi
pemenang mutlak dalam setiap pemilu, didukung oleh birokrasi pemerintah.
Referensi
[1 ] S. M. Metev and V. P. Veiko, Laser Assisted Microtechnology, 2 nd ed., R. M. Osgood,
Jr., Ed. Berlin, Germany: Springer-Verlag, 1 9 9 8 . [2 ] J. Breckling, Ed., The Analysis of
Directional Time Series: Applications to Wind Speed and Direction, ser. Lecture Notes
in Statistics. Berlin, Germany: Springer, 1 9 8 9 , vol. 6 1 . [3 ] S. Zhang, C. Zhu, J. K. O. Sin,
and P. K. T. Mok, “A novel ultrathin elevated channel low-temperature poly-Si TFT,”
IEEE Electron Device Lett., vol. 2 0 , pp. 5 6 9 –5 7 1 , Nov. 1 9 9 9 . [4 ] M. Wegmuller, J. P. von
der Weid, P. Oberson, and N. Gisin, “High resolution fiber distributed measurements
with coherent OFDR,” in Proc. ECOC’0 0 , 2 0 0 0 , paper 1 1 .3 .4 , p. 1 0 9 . [5 ] R. E. Sorace, V.
S. Reinhardt, and S. A. Vaughn, “High-speed digital-to-RF converter,” U.S. Patent 5
6
6
8
8
4
2
, Sept. 1 6 , 1 9 9 7 . [6 ] (2 0 0 2 ) The IEEE website. [Online]. Available:
http://www.ieee.org/ [7 ] M. Shell. (2 0 0 2 ) IEEEtran homepage on CTAN. [Online].
Available: http://www.ctan.org/tex-archive/macros/latex/contrib/supported/IEEEtran/
[8 ] FLEXChip Signal Processor (MC6 8 1 7 5 /D), Motorola, 1 9 9 6 . [9 ] “PDCA1 2 -7 0 data
sheet,” Opto Speed SA, Mezzovico, Switzerland. [1 0 ] A. Karnik, “Performance of TCP
congestion control with rate feedback: TCP/ABR and rate adaptive TCP/IP,” M. Eng.
thesis, Indian Institute of Science, Bangalore, India, Jan. 1 9 9 9 . [1 1 ] J. Padhye, V. Firoiu,
and D. Towsley, “A stochastic model of TCP Reno congestion avoidance and
control,” Univ. of Massachusetts, Amherst, MA, CMPSCI Tech. Rep. 9 9 -0 2 , 1 9 9 9 . [1 2 ]
Wireless LAN Medium Access Control (MAC) and Physical Layer (PHY) Specification,
IEEE Std. 8 0 2 .1 1 , 1 9 9 7 . [1 3 ] Muhammad Abid al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi (Beirut:
Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah, 1 9 8 9 ). [1 4 ] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuriala Syarh Ibn Qasim al-Ghazi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1 9 9 9 ); Zakariya al-Ansari,
Asna al-Mathalib Syarh Raudhah al-Thalib (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2 0 0 0 ). [1 5 ]
Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell
University Press, 1 9 6 2 ). [1 6 ] R. William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian
Politics (Sydney: Allen & Unwin, 1 9 9 6 ).
Komentar