Sejarah Hukum indonesia dalam dominasi agama temasuk islam, bukan hanya agama, tetapi juga peradaban. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam telah berkembang selama empat belas abad sejarah manusia, mencakup seluruh benua Asia dan Afrika, serta sebagian Eropa, terkena dampak dari memperluasnya. Pasca Belanda ke Indonesia, perkembangan hukum Indonesia dipengaruhi oleh berbagai hambatan yang dilakukan pemerintah Belanda untuk menekan pengaruh Islam di Indonesia.Cara pemerintah Belannda mengelolanya dengan menerapkan teori resepsi, hukum yang berlaku di dunia nyata Disarankan oleh Snook Fulgronje (lahir 1857).
Kedudukan hukum Islam dalam hukum Indonesia tidak lepas dari sejarah keberadaan Piagam Jakarta yang memuat tujuh kata “dengan kewajiban menegakkan hukum Islam untuk kemaslahatan orang-orang yang beriman”. Rancangan Piagam Jakarta disahkan sebagai pembukaan UUD Indonesia pada tanggal 22 Juni 1945, namun pada tanggal 18 Agustus 1945 (sehari setelah deklarasi), tujuh kata dicoret dan diganti dengan “iman kepada Tuhan Yang Maha Esa”. Penghapusan ketujuh kata tersebut tentu saja akan berdampak pada penerapan hukum formal hukum Islam di Indonesia. Hingga dua dekade pertama kemerdekaan (1945-1965), hanya ada sedikit undang-undang signifikan yang mempertimbangkan hukum Islam. Tentang masalah administrasi dan seremonial yang berkaitan dengan masalah perkawinan. Periode penerimaan hukum Islam sepenuhnya (secara kesuluruhan) yang disebut dengan receptio in complexu, yaitu periode berlakunya hukum Islam sepenuhnya bagi orang Islam karena memeluk agama Islam. Hukum Islam yang telah berlaku sejak kerajaan Islam di Nusantara hingga zaman V.O.C, yaitu hukum kekeluargaan Islam khususnya hukum perkawinan dan waris, tetap diakui oleh Belanda. Pengakuan akan teori ini dituangkan oleh V.O.C melalui peraturan Resolutie der Indische Regeering tanggal 25 Mei 1760. V.O.C memerintahkan D.W. Freijer untuk menyusun Compendium yang memuat hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk diperbaiki dan disempurnakan oleh ahli hukum Islam pada saat itu.
Penerimaan hukum Islam oleh hukum adat yang kemudian dikenal dengan teori receptie yaitu hukum yang berlaku dalam realita masyarakat adalah hukum adat, sedangkan hukum Islam dapat diberlakukan kalau sudah beradaptasi dengan hukum adat. Teori ini dilegalisasi dalam undang-undang dasar Himdia Belanda, sebagai pengganti RR yaitu Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie (IS). Pengaruh dari perubahan RR ke IS menyebabkan dicabutnya hukum Islam dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda melalui Staatblad No. 212 pada tahun 2019.
Sejarah hukum Indonesia menunjukkan bagaimana unsur sistem hukum Pancasila bertemu dengan unsur hukum Islam. Pancasila, khususnya sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, menunjukkan pentingnya peran agama dalam konstruksi hukum, atau akar permasalahan dari sila lainnya. GBHN bidang agama mengungkapkan bahwa kuatnya pengaruh agama merupakan salah satu landasan terbentuknya undang-undang yang bertujuan untuk pembangunan, pengembangan dan pembentukan hukum nasional secara menyeluruh untuk kepentingan kehidupan bermasyarakat.
Ada tiga hukum Islam bagi kehidupan berbangsa. Pertama, Hukum Islam menetapkan terciptanya sistem nilai yang mengatur kehidupan umat Islam, setidaknya melalui penerapan mana yang baik dan mana yang buruk, apa saja yang turut serta dalam perintah, teguran, kebolehan, dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan unsur hukum peraturan hukum Islam yang diadopsi sebagai bagian dari undang-undang. Ketiga, masih terdapat kelompok umat Islam di berbagai negara yang mempunyai aspirasi teokratis, sehingga penerapan syariat Islam secara penuh tetap menjadi slogan perjuangan yang memiliki daya tarik luas. Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat Islam dari berbagai negara sehingga penerapan hukum Islam secara penuh menjadi slogan perjuangan yang masih memiliki daya tarik yang besar.
Terang dan Rendupnya Hukum Islam Pada Otoritas Belanda
Setelah masa kerajaan Islam melemah, Indonesia pun kedatangan organisasi perdagangan Belanda yang lebih dikenal dengan VOC (Vereenigde Oost Inlandse Compagnie) yang kemudian menjadi tuan bagi bangsa Indonesia, dari sinilah cikal bakal penjajahan Belanda di Indonesia sebab VOC adalah merupakan perpanjang tangan pemerintah Belanda, maka disamping fungsinya berdagang VOC juga mewakili pemerintahan Belanda dalam menjalankan pemerintahan dengan menggunakan hukum belanda. Sejak itu, semakin nampak usaha Belanda mencengkramkan kuku kekuasaannya di Indonesia sikap mereka mulai berubah yang semula toleran terhadap hukum Islam bagi pribumi mulai dibatasi karena khawatir kaum Muslim Indonesia membentuk kekuatan tersendiri untuk dipakai meraih kemerdekaan. Pemerintah Belanda pun, membentuk berbagai peraturan dengan tujuan menghilangkan hukum Islam yang sedang berlaku di masyarakat, mereka mengupayakan berbagai cara untuk membatasi ruang gerak ulama dalam mengembangkan hukum Islam. Maka muncullah teori receptie yang dikemukakan oleh Prof. Christian Snouck Hurgronye yang menyatakan berlakunya hukum adat, membuat hukum Islam hanya diberlakukan apabila telah diterima masyarakat sebagai hukum adat, bahkan mereka juga mengatur masalah haji lebih ketat dari sebelumnya karena khawatirakan menimbulkan pemberontakan..
Hukum Islam Pada Masa penjajahan jepang
Pada tanggal 8 Maret 1942, Jenderal Ter Poelten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang, setelah itu pemerintah Jepang segera mengeluarkan berbagai peraturan. Diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 yang menegaskan tetapnya kendali pemerintah Jepang atas Belanda. Keputusan ini berdampak pada lemahnya kedudukan hukum Islam yang terus berlanjut, dan hanya terdapat sedikit perubahan besar dalam kedudukan hukum Islam pada masa pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942 . Namun pemerintah Jepang jauh lebih baik dibandingkan pemerintah Belanda, dan pemerintah Jepang telah memberikan pengalaman baru kepada pemimpin Islam Indonesia dalam menangani permasalahan agama. Faktanya, pemerintah Jepang telah menerapkan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam Indonesia, antara lain:
- Berjanji untuk melindungi dan memajukan Islam.
- Mendirikan shumubu (kantor urusan agama Islam) yang dipimpin oleh orang Indonesia sendiri
- Mengizinkan berdirinya ormas Islam.
- Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi)
- .Memenuhi desakan tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan pengadilan agama.
Merunduknya Hukum Islam Pada Orde Lama dan Orde Baru
Ketika umat Islam Indonesia memasuki masa orde lama, mereka memutuskan untuk sedikit melihat ke bawah, sehingga banyak sejarawan yang meyakini bahwa era tersebut adalah era nasionalis dan komunis, yakni Mashmi yang mewakili partai politik era Partai. Aspirasi Indonesia Masyarakat Islam pada saat itu mengeluarkan petisi pada tanggal 15 Agustus 1960 dengan alasan bahwa tokoh-tokoh tersebut terlibat dalam pemberontakan dan harus dilakukan upaya unifikasi secara hukum yang mencerminkan kenyataan umum kehidupan Indonesia . Mohon dipertimbangkan. Pasal ini sebenarnya membuka peluang bagi hukum Islam, mengingat hukum Islam merupakan salah satu realitas yang berlaku di Indonesia, namun batasan kata “menghormati” tidak jelas, sehingga kedudukan hukum Islam menjadi tidak jelas (unclear). . ). Artinya Inkuisisi berada di bawah Pengadilan Negeri. Kemudian pada tahun 1966 Indonesia memasuki orde baru, banyak kaum Muslim Indonesia menaruh harapan besar dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia, ditandai dengan tumbangnya PKI dan antek-anteknya yang merupakan musuh utama organisasi Islam karena selalu berusaha menyingkirkan hukum Islam dari tata hukum Indonesia. Disusul dengan dibebaskan tokoh Masyumi yang terpenjara, bahkan sebagian ahli sejarah menyebutkan bahwa pada awal orde baru ini hukum Islam sudah mendapatkan tempat sebagai salah satu sumber hukum nasional namun belum begitu tegas. Sehingga perlu upaya-upaya untuk mempertegas hukum Islam di Indonesia, maka K.H. Mohammad Dahlan seorang menteri agama mencoba mengajukan RUU tentang perkawinan umat Islam yang didukung fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya undang-undang nomor 14 tahun 1970 yang mengakui pengadilan agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada mahkamah agung.
Komentar