A. Pendahuluan
Hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia memiliki posisi yang sangat unik dan kompleks. Di satu sisi, ia lahir dari sumber-sumber normatif Islam seperti Al-Qur’an, Hadis, ijma’, dan qiyas. Di sisi lain, penerapannya harus berjalan seiring dengan prinsip-prinsip negara hukum modern yang menjunjung supremasi konstitusi, hak asasi manusia, dan pluralisme hukum. Dalam konteks Indonesia, hukum Islam tidak diberlakukan secara menyeluruh sebagai hukum negara, tetapi mendapatkan ruang implementasi yang sah melalui jalur formal, terutama dalam sistem peradilan agama.
Secara historis, pengakuan terhadap hukum Islam sudah berlangsung sejak masa kolonial Belanda, yang mengizinkan praktik hukum Islam dalam urusan keluarga dan waris umat Islam melalui "Priesterraad" (pengadilan agama zaman Hindia Belanda). Namun, penguatan terhadap posisi hukum Islam secara yuridis baru terjadi setelah kemerdekaan, khususnya sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang kemudian direvisi dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009. Peraturan ini memberikan fondasi legal bagi Peradilan Agama sebagai salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Penguatan terhadap hukum Islam dalam praktik peradilan juga ditandai dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, yang berfungsi sebagai rujukan utama dalam penyelesaian perkara-perkara perdata Islam. KHI tidak hanya menjadi kodifikasi hukum fiqih, tetapi juga menjadi bentuk ijtihad kolektif yang menggabungkan nilai-nilai syariah dengan realitas sosial masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pembahasan mengenai implementasi hukum Islam dalam praktik peradilan menjadi penting untuk memahami bagaimana nilai-nilai Islam diposisikan dalam sistem hukum nasional, serta tantangan dan peluang yang dihadapi dalam proses penerapannya di lembaga formal negara.
B. Implementasi Hukum Islam dalam Sistem Peradilan
Di Indonesia, penerapan hukum Islam tidak berdiri sendiri sebagai sistem yang otonom, melainkan menjadi bagian dari sistem hukum nasional melalui lembaga peradilan agama. Lembaga ini memiliki fungsi strategis dalam menjembatani nilai-nilai keislaman dengan kebutuhan hukum masyarakat Muslim Indonesia. Dalam praktiknya, Peradilan Agama menangani perkara-perkara yang berkaitan langsung dengan kehidupan keluarga dan sosial umat Islam, seperti perkawinan, waris, wakaf, dan ekonomi syariah.
Landasan yuridis dari kewenangan ini termuat dalam Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, yang menyebutkan bahwa Peradilan Agama berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara antara orang-orang Islam dalam bidang-bidang tertentu. Artinya, hukum Islam tidak hanya eksis sebagai norma keagamaan, tetapi juga memiliki posisi sebagai hukum positif yang dipaksakan melalui lembaga peradilan resmi.
Yang menarik, dalam pelaksanaannya, hukum Islam tidak selalu diterapkan secara tekstual dari kitab-kitab fiqih klasik. Sebagai gantinya, hakim menggunakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai acuan utama dalam memutus perkara. KHI ini disusun bukan dari satu mazhab saja, tapi merangkum berbagai pendapat ulama, lalu dipadukan dengan pertimbangan maslahat dan konteks sosial masyarakat Indonesia. Dengan begitu, KHI menjadi bentuk ijtihad kolektif yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman.
Salah satu contohnya dapat dilihat dalam perkara perceraian. Dalam fiqih klasik, talak bisa dijatuhkan secara lisan oleh suami tanpa perlu proses hukum. Tapi dalam KHI, perceraian harus melalui pengadilan agar hak-hak istri dan anak tetap terjamin. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan hukum Islam di Indonesia tidak hanya berpijak pada teks, tetapi juga mempertimbangkan prinsip keadilan substantif.
Dengan hadirnya KHI, proses beracara di pengadilan agama menjadi lebih seragam dan terarah. Hakim tidak lagi meraba-raba dalam memilih pendapat fiqih, melainkan memiliki panduan yang jelas. Namun demikian, dalam beberapa kasus yang belum diatur dalam KHI, hakim tetap dituntut melakukan ijtihad berdasarkan asas keadilan dan nilai-nilai maqashid syariah. Di sinilah peran penting hakim sebagai pelaku transformasi syariat ke dalam sistem hukum nasional benar-benar terasa.
C. Ruang Lingkup dan Contoh Praktik Implementasi Hukum Islam di Pengadilan
Dalam praktik peradilan agama di Indonesia, hukum Islam tidak hanya diterapkan secara normatif berdasarkan kitab-kitab fiqih klasik, melainkan juga disesuaikan dengan konteks sosial dan kebutuhan hukum masyarakat modern. Ruang lingkup penerapan hukum Islam ini sangat luas, mencakup berbagai aspek kehidupan umat Islam mulai dari urusan perkawinan, waris, hibah, wakaf, zakat, hingga ekonomi syariah yang saat ini berkembang pesat.
Perkara perkawinan dan perceraian merupakan salah satu ranah utama yang paling sering ditangani pengadilan agama. Meskipun fiqih klasik mengizinkan suami menjatuhkan talak secara lisan dan unilateral, di Indonesia prosedur ini diatur sedemikian rupa agar melalui pengadilan. Hal ini dilakukan untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak agar tidak terabaikan dalam proses perceraian, sekaligus memberikan ruang mediasi dan penyelesaian damai bagi pasangan suami istri.
Sengketa waris juga menimbulkan tantangan tersendiri bagi hakim peradilan agama. Hukum waris Islam mengatur pembagian harta berdasarkan prinsip faraidh, di mana laki-laki biasanya mendapat bagian dua kali lipat dari perempuan. Namun dalam praktik, hakim sering menghadapi situasi sosial yang kompleks, misalnya ketika anak perempuan yang berkontribusi besar dalam keluarga menuntut bagian yang lebih adil. Untuk mengatasi hal ini, hakim dapat menggunakan mekanisme hibah wajibah atau musyawarah keluarga sebagai solusi agar tercapai keadilan dan keharmonisan dalam keluarga, sekaligus mencegah perselisihan berkepanjangan.
Selain itu, perkembangan ekonomi syariah menambah dimensi baru dalam praktik peradilan agama. Perkara ekonomi syariah seperti murabahah, mudharabah, dan ijarah kerap menjadi objek sengketa yang memerlukan penanganan khusus. Hakim tidak cukup hanya mengacu pada KHI, tetapi juga merujuk pada fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebagai pedoman dalam menentukan sahnya akad dan penyelesaian sengketa ekonomi syariah tersebut.
Tidak kalah pentingnya adalah bahwa Indonesia sebagai negara multikultural dan multireligius menuntut agar penerapan hukum Islam di pengadilan dilakukan dengan sangat hati-hati. Hakim harus mampu menjaga keseimbangan antara norma agama dan prinsip-prinsip hukum nasional yang demokratis, serta menghormati hak asasi manusia.
Pendekatan ijtihad oleh hakim menjadi sangat vital dalam konteks ini. Tidak semua permasalahan dapat dijawab secara langsung oleh teks KHI, sehingga hakim perlu menggali dan menginterpretasikan hukum Islam dengan mempertimbangkan nilai-nilai maqashid syariah, yakni tujuan utama syariat yang menekankan kemaslahatan dan keadilan bagi seluruh umat.
D. Studi Kasus Aceh: Implementasi Hukum Jinayat
Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang diberikan kewenangan khusus oleh pemerintah pusat untuk menerapkan syariat Islam secara lebih luas melalui sistem perundang-undangan daerah. Dasar hukum dari kekhususan ini terdapat dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang secara eksplisit memberikan hak kepada pemerintah provinsi untuk mengatur kehidupan masyarakat berdasarkan nilai-nilai Islam, termasuk dalam ranah hukum pidana. Hal ini menjadikan Aceh sebagai laboratorium sosial penerapan hukum Islam secara formal di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu aspek paling menonjol dari penerapan syariat Islam di Aceh adalah keberlakuan hukum jinayat, yaitu hukum pidana Islam yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai pelanggaran moral dan sosial dalam perspektif Islam. Beberapa jenis pelanggaran yang diatur dalam Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat antara lain: khamar (minuman keras), maisir (judi), khalwat (berduaan lawan jenis tanpa ikatan pernikahan), ikhtilat, zina, serta pelecehan seksual. Pelaksanaan qanun ini dilakukan oleh lembaga peradilan khusus di Aceh yang disebut Mahkamah Syar’iyah, yang memiliki kewenangan menangani perkara jinayat secara eksklusif.
Dalam praktiknya, pelaksanaan hukum jinayat di Aceh menimbulkan berbagai dinamika, baik dari aspek hukum, sosial, maupun politik. Salah satu bentuk hukuman yang paling mendapat perhatian adalah uqubat cambuk, yakni hukuman fisik yang dijatuhkan di tempat umum terhadap pelaku pelanggaran seperti zina atau khamar. Meskipun secara fiqih hukuman ini termasuk dalam kategori ta’zir atau hudud (tergantung kasusnya), keberadaan hukuman ini seringkali memancing kontroversi, terutama dari perspektif hak asasi manusia dan hukum nasional yang lebih luas. Kritikus menilai bahwa hukuman cambuk dapat mencederai prinsip keadilan prosedural dan bertentangan dengan konstitusi, sementara pendukung berpendapat bahwa hukuman tersebut memiliki efek jera dan mencerminkan nilai-nilai lokal masyarakat Aceh.
Namun yang perlu dicatat, pelaksanaan hukum jinayat di Aceh tidak dilakukan secara sembarangan. Proses pemeriksaan perkara tetap melewati tahapan persidangan, pembuktian, dan hak pembelaan diri. Putusan Mahkamah Syar’iyah juga tunduk pada mekanisme banding dan kasasi sebagaimana peradilan umum di bawah Mahkamah Agung. Dengan demikian, penerapan hukum jinayat di Aceh merupakan bentuk integrasi antara hukum Islam dan sistem hukum nasional, meskipun dalam praktiknya masih menyisakan tantangan dan kritik yang tidak sedikit.
Menariknya, keberadaan qanun jinayat ini juga memunculkan diskursus baru dalam wacana hukum Islam di Indonesia, yaitu soal kemungkinan replikasi penerapan hukum Islam dalam konteks daerah lain. Beberapa kalangan Islamis melihat Aceh sebagai model ideal penerapan syariat secara formal, namun di sisi lain muncul kekhawatiran bahwa pelaksanaan hukum Islam secara parsial bisa menciptakan fragmentasi hukum dan memperlemah integrasi nasional. Karena itu, studi kasus Aceh penting bukan hanya dari aspek hukum, tetapi juga dari aspek sosiopolitik dan ideologi hukum nasional secara keseluruhan.
E. Tantangan Implementasi Hukum Islam dalam Praktik di Pengadilan
Meskipun hukum Islam telah memiliki landasan formal di Indonesia, penerapannya dalam praktik pengadilan tidak lepas dari berbagai tantangan. Salah satu yang paling menonjol adalah pluralitas sistem hukum nasional. Indonesia menganut sistem hukum campuran yang memadukan hukum Islam, hukum adat, dan hukum Barat. Dalam konteks ini, beberapa aturan fiqih klasik, seperti pembagian warisan menurut sistem faraidh, kadang dianggap tidak selaras dengan prinsip kesetaraan gender yang dijunjung dalam hukum nasional dan hak asasi manusia.
Tantangan lainnya adalah soal kompetensi dan kapasitas hakim. Idealnya, hakim pengadilan agama harus menguasai fiqih klasik, memahami maqashid syariah, dan mampu melakukan ijtihad kontekstual. Namun dalam kenyataan, tidak semua hakim memiliki latar belakang akademik yang kuat di bidang tersebut. Akibatnya, ada kecenderungan sebagian hakim terlalu terpaku pada teks KHI tanpa mempertimbangkan konteks sosial masyarakat yang berubah.
Selain itu, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang digunakan sebagai pedoman utama dalam pengadilan agama belum mengalami revisi signifikan sejak dikeluarkan pada 1991. Hal ini menjadikan KHI kurang responsif terhadap isu-isu hukum kontemporer seperti peran istri bekerja dalam pembagian harta bersama, hak anak luar nikah, hingga transaksi digital dalam ekonomi syariah. Kondisi ini mendorong hakim untuk berijtihad secara mandiri, namun karena tidak ada panduan resmi yang lebih mutakhir, putusan antarwilayah bisa menjadi tidak seragam dan memunculkan ketidakpastian hukum.
F. Peran Hakim dan Ijtihad Kontekstual dalam Implementasi Hukum Islam
Dalam praktik peradilan agama, hakim bukan sekadar pelaksana undang-undang, tetapi juga sebagai penafsir nilai-nilai syariah yang harus dipadukan dengan konteks sosial masyarakat. Oleh karena itu, peran hakim dalam sistem hukum Islam di Indonesia sangat penting, terutama dalam mengisi kekosongan hukum atau menyelesaikan perkara yang tidak secara eksplisit diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Salah satu bentuk peran strategis hakim adalah ketika ia menggunakan ijtihad kontekstual yaitu menafsirkan teks fiqih atau aturan formal berdasarkan kondisi sosial, budaya, bahkan ekonomi masyarakat setempat. Contoh nyata adalah pemberian hak pengasuhan anak kepada ibu pasca perceraian meskipun secara fiqih klasik hak itu biasanya diberikan kepada ayah, selama ibu dipandang lebih layak dan maslahat bagi anak. Ijtihad semacam ini menjadi sangat relevan di tengah perkembangan masyarakat yang semakin kompleks dan dinamis.
Selain itu, dalam perkara waris dan harta bersama, hakim sering melakukan penyesuaian dengan mempertimbangkan kontribusi riil pihak perempuan dalam membangun ekonomi keluarga. Meskipun secara teks fiqih bagian warisan perempuan lebih kecil dari laki-laki, hakim bisa menggunakan pendekatan hibah wajibah, atau bahkan prinsip keadilan distributif dalam maqashid syariah untuk memastikan tidak terjadi ketimpangan yang tidak proporsional.
Melalui pendekatan ini, hukum Islam tidak diposisikan secara kaku dan semata-mata tekstual, tetapi fleksibel, adaptif, dan kontekstual, sebagaimana karakter asli dari syariat Islam yang selalu mempertimbangkan maslahat, keadilan, dan kemanusiaan. Dengan ijtihad yang bertanggung jawab, hakim dapat menjaga agar hukum Islam tetap hidup, relevan, dan tidak tertinggal oleh zaman.
G. Kesimpulan
Hukum Islam di Indonesia telah mengalami proses institusionalisasi yang cukup signifikan melalui pengadilan agama dan lembaga peradilan khusus seperti Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Keberadaan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai rujukan utama dalam menyelesaikan perkara fiqih kontemporer menunjukkan adanya upaya kodifikasi syariat dalam bingkai hukum nasional. Meski demikian, implementasi hukum Islam tidak lepas dari berbagai tantangan, mulai dari keterbatasan regulasi, pluralitas sistem hukum, hingga ketimpangan kompetensi hakim dalam menerapkan prinsip-prinsip syariah secara kontekstual.
Di tengah kompleksitas tersebut, peran hakim sebagai pelaku ijtihad menjadi sangat penting. Hakim dituntut tidak hanya memahami hukum positif dan fiqih klasik, tetapi juga mampu menghadirkan putusan yang mencerminkan nilai keadilan, kemaslahatan, dan kemanusiaan. Melalui pendekatan yang adaptif dan kontekstual, hukum Islam dapat terus berkembang secara konstruktif di tengah masyarakat yang multikultural, tanpa kehilangan ruh syariat yang mendasarinya. Dibuat oleh :
Daftar Pustaka
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, 2000.
Antonio, Syafi’i. Islam dan Tantangan Pluralisme Hukum di Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2009.
Attamimi, Hamid S. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: CV Rajawali, 1996.
Hasani, Ismail. “Implementasi Syariat Islam dan Integrasi Hukum Nasional.” Dalam Prosiding Konferensi Hukum Islam Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah, 2020.
Hermawan, Dadang dan Sumardjo. “Kompilasi Hukum Islam sebagai Hukum Materiil pada Peradilan Agama.” Jurnal Yudisia, Vol. 6, No. 1 (2019): 112–113.
Hermawan, Dadang dan Sumardjo. “Peran Pengadilan Agama dalam Ekonomi Syariah.” Jurnal Yudisia, Vol. 6, No. 2 (2019): 115–123.
Kompilasi Hukum Islam. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Kementerian Agama RI, 1991.
Pemerintah Aceh. Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Banda Aceh: Biro Hukum Sekda Aceh, 2014.
Republik Indonesia. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Republik Indonesia. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Jakarta: Sekretariat Negara RI, 2006.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012.
Syafe’i, Rachmat. Urgensi Kompilasi Hukum Islam dan Metode Ijtihad dalam Menghadapi Perkembangan Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
Syafe’i, Rachmat. “Urgensi Kompilasi Hukum Islam dan Metode Ijtihad dalam Menghadapi Perkembangan Hukum Islam di Indonesia.” Asy-Syari‘ah, Vol. 16, No. 3 (2014): 234–250.
Zuhaili (az), Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Jilid VI. Beirut: Dar al-Fikr, 2006.
Komentar