Konflik Agraria Pundenrejo Patri, Ratusan Orang Diduga Suruhan Perusaahaan Gula Ribohkan Joglo Juang Petani
Kejadian ini bukan kali pertama PT LPI mengerahkan orang suruhan untuk mengintimidasi petani Pundenrejo, Pati.
Ratusan orang mendatangi Joglo Juang Petani Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati pada Kamis, 13 Maret 2025, pukul 07.20. Rombongan orang diduga suruhan perusahaan pabrik gula, PT Laju Perdana Indah, itu tiba di lokasi naik enam truk bak terbuka.
Ratusan orang diduga suruhan PT Laju Perdana Indah merobohkan Joglo Juang Petani Pundenrejo Kecamatan Tayu Kabupaten Pati, Jawa Tengah, 13 Maret 2025. Dok Warga.
Mereka lantas mengikat sejumlah tali tambang di atap bangunan joglo tersebut. Ratusan orang itu kemudian menariknya dan seketika Joglo Juang Petani Pundenrejo roboh.
1. Hukum Agraria untuk Keadilan Sosial
Mewujudkan keadilan sosial bagi petani dan rakyat kecil,
Menata kembali struktur penguasaan tanah yang timpang,
Mencegah monopoli dan perampasan tanah oleh pihak kuat (negara atau korporasi).
Dalam kasus Pundenrejo, peristiwa perobohan Joglo bukan sekadar tindak kekerasan, tapi bagian dari proses peminggiran rakyat atas nama investasi. Ini adalah bentuk pelanggaran terhadap semangat keadilan sosial yang seharusnya dilindungi oleh hukum agraria.
2. Tanah Memiliki Fungsi Sosial
Dalam konteks ini, tanah yang digunakan petani untuk bertani dan membangun ruang perjuangan seperti Joglo Juang adalah ekspresi dari fungsi sosial tanah: ruang hidup, identitas, dan kedaulatan rakyat. Ketika tanah dan ruang perjuangan itu dihancurkan demi kepentingan industri (pabrik gula), maka fungsi sosial itu diabaikan.
3. Hukum Tidak Netral, Harus Membela yang Lemah
Dalam konflik Pundenrejo, Hukum harus berpihak pada mereka yang lemah dan tertindas,Jika aparat hukum, negara, atau regulasi berpihak pada korporasi dan membiarkan kekerasan terhadap petani terjadi, maka itu adalah bentuk dari hukum yang berpihak pada kekuasaan, bukan keadilan. Satjipto menyebut ini sebagai “hukum yang beku dan kehilangan hati nurani.
4. Reforma Agraria Substantif, Bukan Simbolik
Bagi Satjipto, reforma agraria bukan sekadar bagi-bagi sertifikat tanah, melainkan:
Mengubah struktur penguasaan tanah yang timpang,Melindungi hak rakyat atas ruang hidup,Menghapus praktik-praktik perampasan tanah oleh korporasi besar.Peristiwa perobohan Joglo adalah contoh mengapa reforma agraria substantif sangat dibutuhkan. Negara seharusnya hadir untuk melindungi rakyat dari kekuatan modal yang mengabaikan hak-hak masyarakat lokal.
konflik agraria seperti di Pundenrejo bukan hanya persoalan sengketa lahan, tapi cerminan dari:
a) Ketimpangan struktur sosial dan hukum,
b) Tidak berfungsinya hukum sebagai alat keadilan,
c) Hilangnya fungsi sosial tanah,
d) Lemahnya perlindungan terhadap rakyat kecil oleh negara.
Satjipto akan menyebut peristiwa seperti ini sebagai kegagalan hukum agraria dalam menjalankan misinya: keadilan, keberpihakan, dan kemanusiaan, agraria bukan hanya soal tanah secara fisik, tetapi menyangkut keadilan sosial, hak hidup rakyat kecil, dan peran hukum dalam melindungi yang lemah. Peristiwa perobohan Joglo Juang oleh pihak yang diduga suruhan perusahaan menunjukkan bagaimana tanah dan ruang hidup petani dapat dirampas atas nama investasi, tanpa perlindungan nyata dari negara.Dengan demikian, pendekatan agraria harus selalu menempatkan manusia — khususnya rakyat kecil — sebagai pusatnya, bukan sekadar kepentingan ekonomi atau korporasi. ( dibuat oleh AHMAD SIRRIL ASRAR)
Komentar