Langsung ke konten utama

Perlindungan Data vs Hak Publik: Menyelaraskan RUU PDP dengan Demokrasi Digital

Pendahuluan

Dalam era transformasi digital yang berkembang pesat, perlindungan data pribadi telah menjadi isu global yang mendesak. Indonesia sebagai negara dengan 212,9 juta pengguna internet1 sedang dalam proses menyusun Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) sebagai payung hukum pertama yang komprehensif di bidang ini. Namun, pembahasan RUU ini memunculkan ketegangan antara kebutuhan perlindungan data dan perlindungan hak-hak sipil dalam demokrasi digital.

Urgensi RUU PDP di Indonesia

Indonesia hingga saat ini belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur perlindungan data pribadi. Beberapa ketentuan terkait hanya tersebar dalam berbagai peraturan seperti UU ITE,2 UU Keterbukaan Informasi Publik,3 dan peraturan sektoral lainnya. Kondisi ini menimbulkan beberapa masalah:

1. Tidak adanya standar perlindungan data yang seragam

2. Lemahnya posisi tawar konsumen dalam pelanggaran data

3. Ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha digital4

Kasus kebocoran data besar-besaran seperti yang dialami BPJS Kesehatan pada 20215 dan Tokopedia pada 2020.6 semakin memperkuat argumentasi perlunya regulasi khusus ini.

Titik Kritis dalam Pembahasan RUU PDP

 

Beberapa pasal dalam RUU PDP menuai kritik dari berbagai kalangan:

1. Definisi Data Pribadi yang Terlalu Luas

Pasal 1 ayat (1) mendefinisikan data pribadi sebagai "data tentang orang perseorangan yang dapat mengidentifikasi seseorang".7 Definisi ini dinilai terlalu luas dan berpotensi menjerat kegiatan jurnalistik dan akademik.

2. Sanksi Pidana yang Disproposional

Ancaman pidana penjara hingga 7 tahun 8 untuk pelanggaran tertentu dinilai tidak sebanding dengan sifat pelanggarannya.

3. Tidak Jelasnya Pengecualian untuk Kepentingan Publik

Ketidakjelasan tentang pengecualian untuk investigasi korupsi dan pelaporan kepentingan publik menjadi kekhawatiran utama.9

Dampak Potensial terhadap Hak Sipil

Implementasi RUU PDP tanpa penyempurnaan berpotensi menimbulkan beberapa dampak:

1. Chilling Effect terhadap Kebebasan Pers

Survei SAFEnet 2023 menunjukkan 78% jurnalis akan membatasi peliputan kasus korupsi jika RUU PDP disahkan dalam bentuk sekarang10

2. Kriminalisasi Whistleblower

Mekanisme pelaporan pelanggaran oleh karyawan perusahaan bisa dianggap melanggar.11

3. Pembatasan Kebebasan Akademik

Riset-riset sosial yang melibatkan data publik berpotensi terkena sanksi.12 

Penutup

RUU PDP merupakan langkah penting dan sangat dibutuhkan dalam era digital yang sarat risiko terhadap data pribadi. Namun, agar regulasi ini tidak menjadi alat pembungkaman, proses legislasi harus dilakukan secara inklusif dan transparan. Pelibatan masyarakat sipil, akademisi, jurnalis, serta sektor industri sangat penting untuk memastikan bahwa perlindungan data tidak dibeli dengan mengorbankan kebebasan sipil. Keseimbangan antara hak atas privasi dan hak atas informasi publik adalah syarat mutlak bagi demokrasi digital yang sehat dan berkelanjutan. ( Dibuat Oleh Mohammad Nasirrudin)

Daftar Pustaka

1. Buku:

- Kuner, C. (2020). The EU General Data Protection Regulation (GDPR): A Commentary. Oxford University Press.

- Solove, D.J. & Schwartz, P.M. (2023). Information Privacy Law. Wolters Kluwer.

2. Jurnal:

- Greenleaf, G. (2022). "Global Data Privacy Laws 2022: 157 Countries". Privacy Laws & Business International Report, 158, 1-14.

- Prasetyo, A. (2022). "Hukum Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: Tantangan dan Prospek". Jurnal Hukum dan Pembangunan, 52(3), 567-589.

3. Dokumen Resmi:

- Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi, Versi 15 Maret 2024.

- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

4. Laporan:

- APJII. (2023). Survei Penetrasi Internet di Indonesia 2023.

- Komisi Informasi Pusat. (2021). Laporan Investigasi Kebocoran Data BPJS Kesehatan.

5. Sumber Online:

- ARTICLE 19. (2021). International Standards on Right to Information. Diakses dari https://www.article19.org

- Coalition for Digital Rights. (2023). Policy Paper on PDP Bill. Diakses dari https://digitalrights.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biografi dan karekteristik Imam Hambali

  Biografi Imam Hambali Dan Pendidikannya   Imam Ahmad lahir pada bulan Rabi'ul Awal tahun 164 H (780 M) di Marw, yang kini merupakan bagian dari Turkmenistan. Ia dibesarkan di Baghdad, pusat ilmu pengetahuan pada masa itu, di tengah keluarga terhormat dari keturunan Nabi Muhammad SAW. Ayahnya meninggal sebelum ia lahir, sehingga ia dibesarkan oleh ibunya dalam keadaan sederhana. Ketika beliau umur antara 16 tahun. Dikatan bahwa beliau sudah menjadi ulama hadis yang besar tapda tahun 179 H. Beliau sudah hafal hampir satu juta hadis, oleh karena itu mendasarkan pendapat hukumnya atas hadis semata,dan beliau seorang ulama termuka pada masanya dan sampai akhir zaman.  Selama perjalanannya, dia bertemu dengan 'Abd ar-Razzaq bin Humam, 'Ali bin Mujahid, Jarir bin 'Abdal-Hamid, Sufyan bin 'Uyainah, Imam Syafi'i, dan beberapa ulama lainnya di berbagai pusat ilmu Islam, seperti Basrah, Hijaz, Yaman, Mekah, dan Kufah. Imam Hambali dikenal karena karya terkenalnya Al-Musn...

Studi Kasus Hukum Administrasi Negara di Indonesia: Analisis terhadap Penyalahgunaan Wewenang dalam Praktik Pemerintahan

 Hukum Administrasi Negara (HAN) di Indonesia berfungsi sebagai pedoman yang mengatur hubungan antara pemerintah dan warga negara serta antar lembaga negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Dalam praktiknya, HAN menuntut agar setiap tindakan administrasi harus sesuai dengan prinsip legalitas, akuntabilitas, dan transparansi. Namun, dalam pelaksanaannya, tidak jarang terjadi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini, sebagaimana terlihat dalam beberapa kasus penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik. Salah satu studi kasus yang menonjol adalah penyalahgunaan wewenang oleh Bupati Kolaka Timur yang diduga mengeluarkan izin usaha pertambangan secara tidak sah tanpa mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Tindakan ini melanggar asas legalitas dan kehati-hatian serta merugikan negara dan lingkungan. Dalam perspektif HAN, tindakan tersebut merupakan pelanggaran administratif yang dapat dikenai sanksi hukum, baik secara pidana maupun administratif, sesuai dengan Undang-Undang Nom...

Hukum Progresif dalam Kasus Nenek Minah: Ketika Keadilan Tak Cukup Hanya dengan Aturan

  Sistem hukum yang ideal seharusnya mampu melayani rasa keadilan masyarakat. Namun, kenyataan di lapangan sering menunjukkan bahwa hukum justru terasa jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, terutama bagi masyarakat kecil. Dalam konteks ini, pendekatan hukum progresif hadir sebagai solusi yang mengutamakan keadilan substantif, bukan sekadar kepatuhan terhadap teks undang-undang. Salah satu kasus paling terkenal yang merefleksikan pentingnya pendekatan ini adalah kasus Nenek Minah pada tahun 2009. Kronologi Kasus Minah, seorang nenek berusia 55 tahun dari Banyumas, Jawa Tengah, diadili karena mencuri tiga buah kakao dari lahan milik PT Rumpun Sari Antan. Ia mengambil kakao tersebut untuk dikonsumsi sendiri. Meski jumlah dan nilainya sangat kecil, Minah tetap diproses secara hukum berdasarkan Pasal 362 KUHP tentang pencurian  yang berbunyi "Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, di...