Langsung ke konten utama

Teori Hukum Progresif serta Implementasinya Hukum Di Indonesia

A. Pendahuluan

 Indonesia merupakan negara hukum, bukan negara kekuasaan, sehingga hukum harus menjadi landasan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum tidak hanya berfungsi untuk memberikan kepastian dan keadilan, tetapi juga untuk mewujudkan kesejahteraan manusia1. Menurut Satjipto Rahardjo, hukum sejatinya merupakan alat perjuangan manusia untuk meraih kebahagiaan, dan harus dilihat dalam konteks kemanusiaan, bukan sekadar sebagai sistem tertutup yang melayani dirinya sendiri.2

Namun, dalam praktiknya, hukum sering kali disalah gunakan untuk melayani kepentingan tertentu dan dijadikan sebagai legitimasi untuk tindakan yang merugikan keadilan masyarakat. Dalam sejarah politik Indonesia, karakter hukum selalu berubah mengikuti konfigurasi politik: demokratis menghasilkan hukum yang responsif, sedangkan otoriter melahirkan hukum yang ortodoks.

Reformasi membawa  perubahan dengan memperkenalkan sistem hukum terbuka yang lebih menekankan pada keadilan substantif. Di tengah tengah krisis penegakan hukum, munculah dorongan untuk melakukan perubahan mendasar, termasuk mempertanyakan ulang landasan filosofis sistem hukum itu sendiri.

Hukum tidak boleh dipahami sebagai alat pengatur masyarakat secara kaku, melainkan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu keadilan dan kemanusiaan. Keadilan bukan sekadar formalitas di ruang sidang, tetapi membutuhkan keberanian menafsirkan undang-undang demi menjunjung harkat manusia. Hukum sebenarnya tidak sepenuhnya otonom, dan tidak bisa  dinilai dari pasal-pasal tertulis, karena kenyataan hukum tercermin dalam perilaku dan praktik sehari-hari aparat hukum.

Sayangnya, di Indonesia hukum sering kali direduksi menjadi pekerjaan administratif yang berorientasi pada materi, sehingga muncul istilah seperti “mafia hukum” atau “UUD (Ujung-Ujung Duit).” Implementasi hukum juga cenderung bersifat top-down, lebih dikendalikan pemerintah ketimbang aspirasi masyarakat.

Dalam artikel ini, Hukum Progresif hadir sebagai solusi yang menekankan keberanian moral aparat hukum untuk menafsirkan aturan demi kemanusiaan. Hukum Progresif bertujuan menghapus diskriminasi hukum dan memastikan bahwa hukum melayani semua kalangan, tidak hanya yang berduit. Pada akhirnya, hukum tidak hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk kebahagiaan manusia.3

B. Sejarah Lahirnya Hukum Progresif

Pada tahun 1960–1970-an, Amerika Serikat menghadapi berbagai persoalan sosial seperti kemiskinan, kerusuhan, dan penyalahgunaan kekuasaan, yang menunjukkan kegagalan hukum dalam menangani problem sosial4. Kritik terhadap sistem hukum ini melahirkan gerakan Critical Legal Studies serta teori hukum dari Nonet dan Selznick yang membedakan tiga tipe hukum: represif, otonom, dan responsif.

Dari latar belakang tersebut, di Indonesia lahirlah Hukum Progresif sekitar tahun 2002 yang dipelopori oleh Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif muncul sebagai respons atas kegagalan hukum positif (analytical jurisprudence) dalam menyelesaikan permasalahan hukum dan sosial di Indonesia, terutama pasca-reformasi 1997.

Berbeda dengan hukum positif yang berpijak pada teks dan logika peraturan, Hukum Progresif menempatkan manusia sebagai pusat, dengan pandangan bahwa hukum harus bersifat dinamis dan berproses terus-menerus (law in the making). Asumsinya adalah bahwa manusia pada dasarnya baik dan hukum harus mendukung kemanusiaan, kesejahteraan, dan keadilan substantif.5

Secara filosofis, Hukum Progresif sejalan dengan teori hukum responsif dari Nonet dan Selznick, serta memiliki keterkaitan dengan aliran Legal Realism dan Freirechtslehre. Gagasan ini mengukuhkan posisi Hukum Progresif sebagai pendekatan hukum yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.6

 Hukum Progresif memandang hukum tidak semata-mata dari teks atau aturan formal, tetapi dari tujuan sosial dan akibat nyata yang ditimbulkannya. Ia berakar pada pemikiran hukum responsif yang menolak moralitas sempit dan mendorong pendekatan hukum yang integratif secara sosial. Hukum Progresif juga memiliki kedekatan dengan Legal RealismFreirechtslehre, dan Sociological Jurisprudence, karena semuanya menolak memandang hukum hanya sebagai aturan, melainkan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan manusia.

Berbeda dengan  pendekatan hukum positif yang rigid, Hukum Progresif mengedepankan asas “hukum untuk manusia”, bukan sebaliknya. Ia menolak pandangan bahwa manusia harus tunduk mutlak pada hukum yang telah ditetapkan, serta menolak mempertahankan status quo yang tidak adil. Hukum harus berkembang seiring perubahan zaman, sebagaimana filosofi Panta Rei (“semua mengalir”) dari Heraklitos.7

Hukum Progresif juga mengandung kritik terhadap sistem hukum formal yang kadang tidak mampu menghadirkan keadilan substantif, seperti dalam kasus O.J. Simpson. Oleh karena itu, hukum harus dimaknai sebagai institusi manusia yang terus berubah dan berfungsi untuk menciptakan keteraturan dan kemanusiaan, bukan sekadar menegakkan aturan yang statis.

C. Ciri Hukum Progresif

Menurut Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif dibangun atas dasar kemampuan manusia menalar, memahami, dan menggunakan nurani untuk menafsirkan hukum secara bermoral dan adil. Hukum harus pro rakyatpro keadilan, berorientasi pada kesejahteraan dan kebahagiaan, responsif terhadap perubahan sosial, serta dijalankan dengan kecerdasan spiritual dan berhati nurani.8 Tujuan Hukum Progresif adalah membentuk negara hukum yang membebaskan dan berlandaskan kehidupan yang baik. Agenda reformasi menuntut terpenuhinya rasa keadilan di masyarakat, namun ukurannya tidak jelas dan sulit dipenuhi hakim.9 

Hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia dan berperan penting dalam menciptakan ketertiban serta perlindungan. Keadilan adalah inti dari hukum, namun tidak dapat diukur secara matematis atau hanya berdasarkan angka dalam sanksi hukum. Keadilan bersifat metafisis dan filosofis, dan harus diinterpretasikan oleh hakim secara bijak.10

1. Penerapan Hukum Progresif Penerapanya Hukum Indonesia.

Hukum Progresif sejalan dengan semangat dan juang UUD 1945 dan Pancasila karena sama-sama bertujuan mewujudkan keadilan dan kebahagiaan masyarakat.

a) Pembukaan UUD 1945 menegaskan perlindungan bagi seluruh rakyat, sejalan dengan cita Hukum Progresif.
b) Sila ke-2 dan ke-5 Pancasila menekankan kemanusiaan dan keadilan sosial, nilai inti dalam Hukum Progresif.
c) Pasal 24 ayat (1) menjamin kemerdekaan hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan, mendukung prinsip hakim berhati nurani ala Hukum Progresif.
d) Pasal 27 ayat (1) tentang persamaan kedudukan dalam hukum mendukung prinsip keadilan nondiskriminatif.
e) Bab XA tentang HAM menjamin hak dasar manusia untuk hidup bahagia dan adil, yang juga merupakan tujuan utama Hukum Progresif.

2. Dinamika Penerapannya Di Indonesia.

Sistem Hukum Indonesia yang berbasis pada tradisi hukum kontinental sangat menekankan kepastian hukum melalui asas legalitas. Namun, selain kepastian, sistem hukum Indonesia juga mengakomodasi nilai keadilan, meskipun tidak secara eksplisit mengatasnamakan Hukum Progresif. Jiwa dan semangat Hukum Progresif tercermin dalam sejumlah putusan pengadilan yang mengedepankan keadilan di samping legalitas diantaranya: 

  1. Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto yang membongkar korupsi di Mahkamah Agung dan memutus Mochtar Pakpahan tidak bersalah atas tuduhan makar di era Orde Baru.
  2. Benyamin Mangkudilaga yang melalui Pengadilan Tinggi memutus perkara mendukung majalah Tempo melawan Menteri Penerangan.
  3. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 49/PUU-VIII/2010 yang menyatakan Hendarman Supandji tidak sah lagi sebagai Jaksa Agung, yang dinilai berani dan menentang penguasa.
  4. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) VIII/2010 pada Januari 2012 mengubah Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. MK menyatakan bahwa anak di luar nikah memiliki hubungan perdata tidak hanya dengan ibu dan keluarganya, tetapi juga dengan ayah biologisnya, jika dapat dibuktikan secara ilmiah atau hukum. Putusan ini berani dan progresif, karena melindungi hak anak dan martabat perempuan, meskipun mendapat kritik dari kalangan mayoritas, termasuk lembaga keagamaan.
 Satjipto Rahardjo tidak menjelaskan secara rinci penerapan Hukum Progresif dalam sistem hukum Indonesia. Namun, karena Hukum Progresif adalah bagian dari sistem hukum nasional, penerapannya harus menyatu dengan keseluruhan sistem hukum. Menurut Sunaryati Hartono (dikutip oleh Elly Erawati), pembangunan Sistem Hukum Nasional yang berjiwa Pancasila dan UUD 1945 harus dilakukan secara sistemik dan serentak dengan membangun empat dimensi/ atau spek utama yaitu :
  1. Pembangunan Budaya Hukum – perilaku berhukum masyarakat dan profesional hukum.
  2. pembangunan  Materi Hukum  isi hukum seperti undang-undang dan peraturan.
  3. Pembangunan Aparatur Hukum, – kualitas sumber daya manusia hukum secara intelektual dan mental.
  4. Pembangunan Sarana dan Prasana Hukum – fasilitas pendukung seperti perpustakaan hukum.

Hukum Progresif tidak boleh eksklusif, melainkan harus bersentuhan dengan bidang lain seperti sosiologi dan antropologi agar mampu mengatasi masalah hukum yang kompleks.

Kesimpulan

Hukum Progresif dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo pada tahun 2002 sebagai respon terhadap ketidakpuasan terhadap praktik hukum positif di Indonesia, terutama setelah reformasi 1997.

  1. Hukum Progresif lahir dari keprihatinan atas lemahnya penegakan hukum.
  2. Memiliki korelasi dengan hukum responsif: hukum responsif menekankan partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum, sedangkan hukum progresif menekankan sikap penegak hukum terhadap hukum itu sendiri.
  3. Contoh penerapannya adalah putusan Mahkamah Konstitusi dalam kasus Machicha Mochtar, yang memperjuangkan hak anak di luar nikah dan martabat perempuan, sebagai bentuk keberanian melawan status quo demi keadilan. Dibuat oleh ( Muhammad Dziya'Ul Azman)

  4. Referensi.
     1. Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009), hlm.1.
    2. Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), hlm. ix
    3. Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 36.
    4.  Jurnal Hukum Progresif, Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan,Vol:1/Nomor1 /April 2005.
    5. Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Jurnal Hukum Progresif Program Doktor Ilmu Hukum Univ. Diponegoro, Vol. 1/No. 1/April 2005, hlm. 3-5.
    6.  Mulyana W. Kusumah dan Paul S.Baut (editor), ”Hukum, Politik dan Perubahan Sosial”, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1998), hlm. 11. Yang menguraikan teori sosial dari Philippe Nonet dan Philip Selznich yang membedakan tiga tipe hukum, yaitu Hukum represif yang bertujuan untuk memelihara status quo; hukum otonom yang bertujuan untuk membatasi kesewenang-wenangan tanpa mempersoalkan tatanan sosial dan yang secara legalistis kaku; serta hukum responsif yang bersifat terbuka terhadap perubahan masyarakat dan mengabdi pada usaha-usaha untuk mencapai keadilan dan emansipasi sosial. Baca selanjutnya dalam buku Philippe Nonet & Philip Selznick (1978) Law and Society in Transition: Toward Responsive Law. Harper Colophon Books, New York.
    7. Dikutip oleh Satjipto Rahardjo, o.p. cit. hlm. 7-9, dari Wolgang Friedmann (1953) Legal Theory. Stevens and Sons Ltd, London; dan Roscoe Pound, Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence, Havard Law Review. Vol. 25, Desember 1912.
    8. Moh. Mahfud MD (e.t. al), Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif -Urgensi dan Kritik, (Jakarta Seri Tokoh Hukum Indonesia, Epistema Institute dan HuMa, 2011), hlm. 5.
    9. atya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, 2008), hlm. 340.
    10.  Andi Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), (Jakarta: Yarsif Watampone, 2006), hlm. 70.


    Komentar

    Postingan populer dari blog ini

    Biografi dan karekteristik Imam Hambali

      Biografi Imam Hambali Dan Pendidikannya   Imam Ahmad lahir pada bulan Rabi'ul Awal tahun 164 H (780 M) di Marw, yang kini merupakan bagian dari Turkmenistan. Ia dibesarkan di Baghdad, pusat ilmu pengetahuan pada masa itu, di tengah keluarga terhormat dari keturunan Nabi Muhammad SAW. Ayahnya meninggal sebelum ia lahir, sehingga ia dibesarkan oleh ibunya dalam keadaan sederhana. Ketika beliau umur antara 16 tahun. Dikatan bahwa beliau sudah menjadi ulama hadis yang besar tapda tahun 179 H. Beliau sudah hafal hampir satu juta hadis, oleh karena itu mendasarkan pendapat hukumnya atas hadis semata,dan beliau seorang ulama termuka pada masanya dan sampai akhir zaman.  Selama perjalanannya, dia bertemu dengan 'Abd ar-Razzaq bin Humam, 'Ali bin Mujahid, Jarir bin 'Abdal-Hamid, Sufyan bin 'Uyainah, Imam Syafi'i, dan beberapa ulama lainnya di berbagai pusat ilmu Islam, seperti Basrah, Hijaz, Yaman, Mekah, dan Kufah. Imam Hambali dikenal karena karya terkenalnya Al-Musn...

    Studi Kasus Hukum Administrasi Negara di Indonesia: Analisis terhadap Penyalahgunaan Wewenang dalam Praktik Pemerintahan

     Hukum Administrasi Negara (HAN) di Indonesia berfungsi sebagai pedoman yang mengatur hubungan antara pemerintah dan warga negara serta antar lembaga negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Dalam praktiknya, HAN menuntut agar setiap tindakan administrasi harus sesuai dengan prinsip legalitas, akuntabilitas, dan transparansi. Namun, dalam pelaksanaannya, tidak jarang terjadi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini, sebagaimana terlihat dalam beberapa kasus penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik. Salah satu studi kasus yang menonjol adalah penyalahgunaan wewenang oleh Bupati Kolaka Timur yang diduga mengeluarkan izin usaha pertambangan secara tidak sah tanpa mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Tindakan ini melanggar asas legalitas dan kehati-hatian serta merugikan negara dan lingkungan. Dalam perspektif HAN, tindakan tersebut merupakan pelanggaran administratif yang dapat dikenai sanksi hukum, baik secara pidana maupun administratif, sesuai dengan Undang-Undang Nom...

    Makalah perkembangan imam imam madzab pada masa dinasti umayyah

       A.      Pendahuluan Daulah Umayyah berasal dari Umayyah ibn ‘Abdi Syams ibn ‘Abdi Manaf, merupakan salah satu pemimpin kabilah Quraisy di zaman jahiliyah. Umayyah sering bersaing dengan pamannya yang bernama  Hasyim ibn ‘Abdi Manaf  untuk merebut pimpinan dan kehormatan dalam masyarakat bangsanya. [1]  Pada saat memasuki masa kekuasaannya, Muawiyah yang menjadi awal penguasa bani Umayyah, mengubah pemerintahan yang bersifat demokratis menjadi kerajaan turun-temurun (monarchiheridetis). [2] Kedaulatan bani Umayyah dimulai sejak masa kekuasaan Gubernur Syam yang pada waktu itu tampil sebagai penguasa Islam yang kuat pasca wafat Ali ibn Abi Thalib. Mʰawiyah ibn Abi Sufyan ibn Harb adalah pendiri dinasti Umayyah dan sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus. [3] Pada saat itu kekuasaan tersebut, banyak sekali perkembangan-perkembangan diantaranya dalam hokum Islam sehingga munculah ulama...